“Dok, Saya Takut Mati”: Kalimat yang Mengubah Cara Pandangku

“Dok, Saya Takut Mati”: Kalimat yang Mengubah Cara Pandangku

Oleh: Deva Fitra

Sunyi yang Berbicara

Ruang periksa itu sunyi. Hanya suara kipas tua yang berdecit pelan dan napas pasien di depanku yang terdengar. Ia duduk di kursi plastik hijau, mukenanya masih terlipat rapi di pangkuan, seperti baru saja selesai shalat Dzuhur di mushola rumah sakit. Matanya kosong, tapi dalam. Seolah menyimpan sesuatu yang tak tertulis di rekam medis.

Hari itu aku sedang mengikuti kunjungan blok di rumah sakit. Seperti biasa, kami—para mahasiswa—berdiri berjajar di belakang dokter pembimbing. Tangan kami mencatat cepat saat beliau menanyakan gejala dan menuliskan resep. Bahasa tubuh kami cekatan, seperti ingin mengatakan bahwa kami siap belajar apa saja. Tapi kami lupa, tidak semua pelajaran datang dalam bentuk poin-poin.

Kalimat yang Tidak Ada Jawabannya di Slide Kuliah

Di sela penjelasan tentang diagnosis dan tatalaksana, tiba-tiba pasien itu menatap ke arah kami. Lebih tepatnya—ke arahku. Matanya sedikit berair, suaranya hampir tenggelam di antara suara printer resep dan langkah perawat di koridor.

“Dok… saya takut mati.”

Aku menahan napas. Mataku teralih dari kertas catatan ke wajahnya. Dalam kepalaku, materi kuliah berputar cepat: nyeri dada → anamnesis → pemeriksaan fisik → pemeriksaan penunjang → terapi sesuai guideline. Tapi tidak ada satu pun kalimat di slide kuliah tentang cara menjawab kalimat seperti itu.

Dan aku diam. Bukan karena tak mau menjawab—tapi karena tak tahu bagaimana caranya.

Ilmu Pengetahuan dan Kekosongan Emosional

Kami diajari cara menilai ronki paru, cara menekan titik nyeri abdomen, cara menghitung GCS. Kami belajar tentang farmakologi, patofisiologi, dan guideline terapi terbaru. Kami belajar cara bicara sopan, menjelaskan prosedur, dan menyampaikan prognosis dengan struktur. Tapi tidak ada satu modul pun tentang seni mendengarkan. Tidak ada yang mengajarkan cara menjadi tempat bersandar, bukan sekadar pemberi instruksi.

Aku mulai bertanya-tanya: untuk siapa sebenarnya semua ilmu ini? Untuk menyembuhkan tubuh? Atau juga hati dan ketakutan yang menyertainya?

Ketakutan yang Tidak Bisa Disembuhkan dengan Obat

Hari itu aku menyadari, pasien tidak hanya datang untuk diobati. Mereka datang untuk didengarkan. Untuk memiliki seseorang yang mau diam sejenak, menatap mata mereka, dan berkata dengan tulus: “Iya Bu, pasti berat ya. Tapi kami di sini akan membantu.”

Karena ada ketakutan yang tak bisa diukur dengan skala numerik. Ada kecemasan yang tak akan muncul di hasil laboratorium. Dan ada luka yang hanya bisa dijahit dengan perhatian.

Refleksi Seorang Mahasiswa Kedokteran

Sore itu aku pulang dengan langkah pelan. Laptop dan tab di tasku terasa berat, tapi kata-kata pasien itu jauh lebih berat di pikiranku. Malamnya, aku membuka buku fisiologi sambil menandai bab berikutnya untuk ujian. Namun di sela-sela barisan kalimat dan skema metabolisme, ada satu kalimat yang terus terngiang:

“Dok, saya takut mati.”

Aku sadar, menjadi dokter bukan hanya tentang mengetahui banyak hal. Menjadi dokter juga tentang mengosongkan diri untuk memberi ruang pada cerita orang lain. Karena tak ada terapi farmakologi yang bisa menyembuhkan ketakutan itu – selain seorang dokter yang mau benar-benar mendengarkan.

Penutup: Belajar Mendengar, Bukan Sekadar Mendengar

Mendengar adalah keterampilan biologis. Tapi mendengarkan—itu seni. Dan seni ini tidak ada di ujian CBT, tidak di OSCE, bahkan tidak di kompetensi klinis. Ia hanya bisa tumbuh dari rasa empati, dari kesediaan untuk berhenti menjadi “ahli” sejenak, dan mulai menjadi “manusia”.

Mungkin inilah pelajaran terpenting dari semua ilmu kedokteran. Pelajaran yang tak tertulis di silabus, tapi menetap di hati. Dan suatu hari nanti, saat aku sudah benar-benar menjadi dokter, aku ingin pasien tahu: bahwa selain resep dan diagnosis, aku juga membawa satu hal lain dalam praktikku—kemauan untuk benar-benar mendengarkan.

“Ruang periksa itu sunyi.
Kami mencatat cepat saat dokter menjelaskan diagnosis dan terapi.
Tiba-tiba, pasien itu menatap kami dan berkata pelan,
‘Dok… saya takut mati.’

Hari itu aku sadar, tak ada di buku teks yang mengajarkan cara menjawab kalimat seperti itu.
Karena menjadi dokter bukan hanya tentang tahu banyak hal.
Tapi juga tentang mendengarkan dengan hati.

Baca cerita lengkapnya di website Lingua FK Unair ✨
(Link di bio)

#LinguaFKUnair #FKUnair #MedicalStudentLife #HumanismInMedicine #RefleksiKedokteran #LinguaStory”

Leave a Reply

Your email address will not be published.