Kadaver: Dilema Moral, dan Relevansinya dalam Pendidikan Dokter Era Modern

Kadaver: Dilema Moral, dan Relevansinya dalam Pendidikan Dokter Era Modern

Oleh: Farhan Naufal Adiyatma

Pada awal semester 2 perkuliahan program studi Kedokteran S-1 di Universitas Airlangga, saya menemui hal yang mungkin menjadi salah satu pengalaman paling terhormat sepanjang 18 tahun hidup saya, yakni bertemu dengan kadaver.

Memasuki ruangan praktikum, saya melihat sejumlah body bag berwarna biru yang ditidurkan di atas ranjang berbahan besi. Tersusun rapi dibawah pancaran lampu operasi. Mahasiswa-mahasiswi semester dua dibagi dalam beberapa kelompok kecil berisi 15 orang yang menghadap ke body bag tersebut. Saya bukalah kantong biru itu dan nampak berbagai macam reaksi dari para mahasiswa. Ada yang ketakutan dalam melihatnya dan ada pula yang merasa tidak kuat dengan aroma khas darinya. Satu tubuh penuh jenazah terbaring tanpa daya. Beliau sepertinya sudah sedikit lanjut umur, wafat dengan sebab yang alamiah.  Itulah yang ada dibenak saya. Tanpa saya sangka sebelumnya, beliaulah yang menemani pembelajaran kami selama setengah bulan ke depan.

Arti Kadaver bagi Mahasiswa Kedokteran

Mahasiswa prodi Kedokteran dari seluruh penjuru dunia tentu tidak asing lagi dengan penggunaan kadaver. Menurut KBBI, kadaver adalah mayat manusia yang diawetkan. Kadaver sering menjadi media yang tak terpisahkan dalam pembelajaran mata kuliah anatomi bagi mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan dokter. Apalagi, mengingat Anatomi merupakan keilmuan dasar yang menjadi fondasi bagi ilmu kedokteran.

Aspek Hukum dan Etika Moral Penggunaan Kadaver

Bila ditinjau melalui aspek hukum, penggunaan kadaver telah diatur dalam UU 17/2023 Pasal 157 ayat (1) dan (5), dimana setiap orang yang meninggal dunia harus diupayakan untuk diketahui identitas dan sebab kematiannya yang mana bisa dipadukan dengan penelitian, pendidikan dan pelatihan, termasuk bedah mayat anatomis dan/atau bedah mayat klinis untuk keperluan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik.

Dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 26 bahwa kadaver untuk bedah mayat anatomis hanya dapat diperoleh dengan 2 cara, yakni persetujuan tertulis oleh keluarga atau orang tersebut semasa hidupnya dan mayat yang tidak dikenal, “mr. X” atau mayat yang tidak diurus oleh keluarga. Memprosesan jenazah setelah meninggal juga harus dengan menjunjung tinggi aspek etika, moral, dan sesuai prosedur medis. Selepas digunakan sebagai media pembelajaran, kadaver juga wajib dilakukan pemulasaraan dan pemakaman.

Meskipun regulasi penggunaan kadaver sebagai media pembelajaran sudah diatur sedemikian rupa, polemik timbul berkenaan dengan ide penggunaan “manusia” sebagai objek pembelajaran. Apalagi diseksi atau pembedahan kadaver biasanya dilakukan dengan cara yang bisa dibilang tidak manusiawi bila dilihat dari perspektif masyarakat umum. Penggunaan kadaver dalam berbagai macam aktivitas pembelajaran membuat institut pendidikan harus memenuhi jumlah persediaan tertentu. Dengan meningkatnya jumlah Fakultas Kedokteran di Indonesia, kebutuhan pengadaan kadaver manusia juga akan melonjak, kemudian semakin banyak jenazah “mr. X” yang harus disumbangkan menjadi kadaver. Sebagian tenaga pendidik kemudian optimis bahwa kadaver dapat digantikan dengan alternatif lain.

Alternatif Kadaver: Apakah Teknologi Modern dapat Menggantikan Peran Kadaver?

Seiring perkembangan zaman, muncul berbagai perusahaan yang memberikan alternatif untuk menggantikan peran kadaver sebagai media pembelajaran mahasiswa. Tujuan perusahaan ini ialah menggantikan dan meningkatkan efektivitas penggunaan kadaver secara tradisional namun dengan tetap menjaga keabsahan ilmu Anatomi dalam pendidikan dokter. Salah satu alternatif adalah adalah penggunaan kadaver sintetis. Seluruh organ pada kadaver sintetis dibuat serupa mungkin selayaknya kadaver manusia tanpa adanya ketidaknyamanan seperti saat menggunakan kadaver manusia. Kemudian, muncul pula penggunaan meja digital yang menampilkan kadaver dalam pencitraan tiga dimensi. Meja kadaver digital ini dapat menampilkan detail struktur tubuh yang tidak terlihat oleh kadaver manusia. Namun, yang menjadi kekurangan dari produk ini ialah tidak memberikan mahasiswa pengalaman motorik dalam pembelajaran.

Pertanyaan yang muncul ialah, apakah alternatif terhadap kadaver ini dapat diterima dengan baik oleh institut pendidikan dan mahasiswa? Apabila kita lihat dari sisi pragmatisme, biaya pengadaan kadaver manusia masih jauh lebih murah daripada alternatif lain seperti kadaver sintetis dan kadaver digital yang mana bisa mencapai biaya hingga satu miliar rupiah. Pendapat para mahasiswa juga masih menganggap bahwa kadaver akan sangat sulit untuk dapat digantikan oleh alternatif lain. Sensasi melihat dan meraba organ tubuh manusia tidak akan didapatkan di penggunaan media lain. Keterlibatan indra dalam pembelajaran tentu akan meningkatkan konsolidasi memori pada mahasiswa kedokteran. Seringkali juga dapat dilihat, pengalaman bereksplorasi organ tubuh manusia dapat memantik rasa penasaran pada mahasiswa.

Pada akhirnya, untuk saat ini sangatlah sulit untuk mengubah media pembelajaran dari kadaver manusia menjadi inovasi teknologi lain. Solusi dari dilema moral penggunaan kadaver adalah dengan menanamkan kepada mahasiswa untuk menghormati dan menghargai kadaver, menjunjung tinggi peran kadaver sebagai “guru” bagi para calon dokter. Kebiasaan-kebiasaan seperti membacakan doa kepada jenazah sebelum memulai praktikum harus menjadi kebiasaan bagi seluruh mahasiswa Fakultas Kedokteran. Dengan begitu, proses pembelajaran akan dapat terlaksana secara efektif, namun dengan tetap mempertahankan aspek etika, moral, dan kemanusiaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.