Menjemput Kemenangan yang Tertunda: AORTA 2025 (Sinopsis)

Menjemput Kemenangan yang Tertunda: AORTA 2025 (Sinopsis)

Oleh: Deva Fitra Firdausa Anwar

Langkah Pertama Menuju Pembuktian

Angin pagi di Kota Bogor berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang khas. Januari belum benar-benar berlalu, tapi pikiranku sudah melangkah jauh ke bulan Februari. Liburan semester kali ini terasa berbeda, bukan seperti jeda panjang yang menenangkan, melainkan seperti persiapan sebelum perang. Ada sesuatu yang belum selesai, sebuah kisah yang harus kutuntaskan—AORTA 2025.

Aku masih ingat hari itu, 26 Januari 2025, saat aku duduk sendirian di sebuah ruangan sunyi di tengah riuhnya kota hujan. Dalam keheningan itu, aku menatap layar komputer di depanku. Seratus soal penyisihan menanti, menuntut setiap pecahan ingatan dan strategi yang telah kami susun sejak lama. Tidak ada ruang untuk keraguan. Bersama Mas Fian, kami telah berjanji—kali ini, kami tidak akan pulang dengan tangan hampa.

Ketika hasil diumumkan keesokan harinya, dadaku berdebar kencang. 520 poin. Skor tertinggi. Aku menatap layar dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Campuran antara kelegaan, kebanggaan, dan adrenalin yang seakan baru saja menyulut api semangat yang lebih besar dalam diriku. Ini bukan hanya tentang menang. Ini tentang membuktikan bahwa kami akan meraih hasil yang terbaik untuk almamater.

Kami tahu bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang. Kemenangan di babak penyisihan memberi kami kepercayaan diri, tetapi juga tanggung jawab yang lebih besar. Kami harus bersiap menghadapi babak berikutnya dengan strategi yang matang, kerja sama tim yang solid, dan mental baja yang tidak tergoyahkan. Setiap detik setelah pengumuman itu, kami gunakan untuk berlatih lebih giat, menyusun taktik terbaik, dan memastikan bahwa tidak ada celah sedikit pun yang dapat membuat kami tergelincir.

Setiap malam menjelang tidur, aku membayangkan kembali bagaimana rasanya berdiri di podium kemenangan. Bayangan itu menjadi bahan bakar yang membakar semangat kami. Kami tidak hanya ingin menang—kami ingin mencatat sejarah.

21 Februari 2025 – Awal Perjalanan

Pagi itu, Jumat, Surabaya masih sibuk seperti biasanya. Jalanan dipenuhi klakson kendaraan yang bersahutan, menciptakan irama khas kota besar. Kami—tiga tim delegasi dari FK Unair—duduk diam di dalam taksi daring yang melaju menuju Bandara Juanda. Ada perasaan aneh yang menyelimutiku, kombinasi antara gugup dan semangat yang sulit dikendalikan. Saat itu, aku pun telah menyadari, bahwa peperangan yang akan kuhadapi kali ini, akan jauh lebih membara daripada yang sebelumnya.

Kami tiba di bandara lebih awal, menyempatkan diri untuk duduk sejenak di ruang tunggu. Aku melihat sekeliling, memperhatikan wajah-wajah rekan setim yang sama tegangnya. Perjalanan ke Makassar bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan menuju sebuah pembuktian. Tak terasa, telah tiba saatnya untuk kami menuju pesawat yang menanti untuk membawa kami menuju pulau tempat perjuangan Ayam Jantan dari Timur, Pulau Sulawesi.

Sesampainya di Makassar, aku menarik napas panjang. Kota ini, meskipun tidak jauh berbeda dari Surabaya, menyimpan medan pertempuran yang akan menentukan segalanya. Kami tak punya banyak waktu untuk beradaptasi. Perlombaan sudah menanti di depan mata.

Menggunakan dua mobil dari panitia, kami pun bergerak dari bandara menuju hotel yang telah disiapkan. Jalanan di kota Makassar saat itu cukup ramai. Riuh warga yang banyak bergiat turut mengisi pandanganku dari sisi kanan dan kiri jendela mobil. Sore itu, kami langsung menuju ruangan auditorium untuk mengikuti pengarahan technical meeting sebagai tahap persiapan terakhir yang disiapkan panitia untuk kami sebelum perlombaan dimulai. Waktu pun tak terasa telah berlalu. Malamnya, kami—tiga tim delegasi FK Unair—melanjutkan dengan melakukan diskusi bersama di kamarku dan Mas Fian untuk merancang strategi dalam perlombaan nantinya. Malam itu terasa sunyi dan tenang. Tak lama kemudian, kami pun memutuskan untuk beristirahat serta menyiapkan stamina untuk keesokan harinya.

22 Februari 2025 – Babak Semifinal

Semifinal AORTA 2025 bukan sekadar ujian akademik. Ini adalah arena di mana otak dan fisik diuji secara bersamaan. Lima pos menanti, masing-masing dengan tantangan unik yang dirancang untuk menguji ketahanan kami.

Di GOR FK Unhas, aku dan Mas Fian mengawali perjalanan dengan permainan kelereng yang diikuti oleh serangkaian pertanyaan dari dewan juri. Rasanya seperti permainan anak-anak, tapi dengan tekanan yang luar biasa.

Beranjak ke pos kedua di RP Anatomi, ingatanku diuji dalam permainan kartu yang harus dicocokkan sebelum masuk ke tantangan sesungguhnya—menunjukkan struktur organ yang mengalami gangguan pada kadaver, lalu menentukan diagnosis berdasarkan pemeriksaan penunjang yang tersedia. Dua siklus harus kami lewati, dua kasus harus kami pecahkan untuk mendapatkan petunjuk ke pos berikutnya.

Di pos ketiga, sebuah papan ular tangga raksasa terbentang di hadapan kami. Ada jalan pintas yang bisa kami pilih—fast track menyusun puzzle kelainan penglihatan. Namun, aku dan Mas Fian memilih jalur biasa. Kami tidak ingin mengambil risiko membuang waktu lebih banyak. Keputusan ini ternyata tepat. Kami melaju lebih cepat dari yang kami bayangkan.

Pada pos keempat, kerja sama tim diuji. Kami harus mengendalikan spidol menggunakan tali, menggambar jalur yang telah ditentukan, dan menjawab pertanyaan dari penguji. Koordinasi menjadi kunci di sini.

Di pos terakhir, sebuah permainan golf menanti, dipadukan dengan pertanyaan kritis. Dengan strategi dan ketenangan, kami berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Pos demi pos kami lewati dengan tekad yang semakin membara. Hingga akhirnya, ketika garis finis semifinal terlihat, aku menyadari satu hal—kami adalah tim pertama yang sampai. Kami adalah yang tercepat.

23 Februari 2025 – Grand Final

Langit Makassar masih gelap ketika kami bersiap. Ini adalah hari penentuan. Ini adalah momen di mana pertanyaan yang menggelitik pikiranku sejak lama akan menemukan jawabannya—apakah aku bisa membalas kekalahan sebelumnya?

Empat universitas menjadi saksi perjalanan kami hari itu: UNISMUH, UIN Alauddin, UMI, dan UNHAS. Tidak ada keuntungan start lebih awal kali ini. Semua tim memulai pada titik yang sama. Tapi itu tidak melemahkan tekadku—sebaliknya, aku semakin terbakar.

Di pos pertama, aku dan Mas Fian harus mengangkat tongkat menggunakan kaki sambil menjawab pertanyaan medis. Lalu di pos kedua, puzzle vaskularisasi organ menanti untuk disusun sebelum kami berhadapan dengan pertanyaan kasus dari juri. Pos demi pos kami lewati dengan ketelitian dan kecepatan yang semakin terasah.

Di pos ketiga, aku merasa waktu berjalan begitu cepat. Kami memainkan ddakji, sebuah permainan tradisional asal Korea yang harus dilakukan dengan presisi, sebelum beralih ke permainan tebak organ berdasarkan petunjuk yang diberikan.

Saat akhirnya kami mencapai pos terakhir, aku tahu ini adalah saat yang menentukan. Dengan napas tertahan, kami menyelesaikan tantangan terakhir—permainan kasti yang dikombinasikan dengan soal kasus.

Dan kemudian, itu terjadi.

Kami melewati garis finis.

Tidak ada tim lain di depan kami.

Kami adalah yang pertama.

Kami adalah satu-satunya tim yang berhasil menyelesaikan seluruh tantangan dan menutup perjalanan ini sebagai JUARA 1 AORTA 2025.

Aku menutup mataku sejenak, membiarkan euforia membanjiri setiap sel tubuhku. Perjalanan panjang ini telah sampai pada akhirnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang belum terjawab. Tidak ada lagi penyesalan dari masa lalu.

Kami telah menang.

Dan kisah balas dendam ini, akhirnya, telah tertuntaskan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.