Saat Pertanyaan Menjadi Dosa: Refleksi Mahasiswa Kedokteran Indonesia

Saat Pertanyaan Menjadi Dosa: Refleksi Mahasiswa Kedokteran Indonesia

Sumber: Pinterest

Oleh: Deva Fitra

Pagi itu, udara Chiang Mai masih dingin ketika aku melangkah ke luar dari penginapan. Matahari belum sepenuhnya naik, tapi langit sudah memerah lembut, seolah menyiapkan hari yang sibuk di kampus kedokteran terbesar di Thailand Utara itu.

Aku berjalan pelan menuju gedung Faculty of Medicine, Chiang Mai University. Pohon-pohon besar berbaris di pinggir trotoar, daunnya berguguran menutupi jalan seperti karpet emas tipis. Saat memasuki area kampus, aku melihat mereka—para mahasiswa kedokteran Thailand—duduk berkelompok kecil di taman fakultas.

Mereka memakai seragam rapi dengan jas lab putih menempel di lengan, dan di hadapan mereka terbuka tablet, buku, atau laptop. Namun, bukan itu yang membuatku berhenti melangkah, melainkan, yang membuatku tertegun adalah suara mereka. Suara diskusi.

Mereka berbicara cepat, bertanya, menjawab, saling menimpali. Bahkan di kantin kampus, sambil makan nasi dengan ayam goreng khas Thailand, mereka tetap mendiskusikan kasus pasien yang akan dibahas di tutorial PBL (Problem-Based Learning) sore nanti.

Tidak ada yang menertawakan pertanyaan temannya. Tidak ada yang mencibir jawaban yang keliru. Mereka mendengarkan, menanggapi, dan menambahkan.

Aku terdiam. Mengamati. Membandingkan diam-diam dengan kelas di kampusku di Surabaya.

Di sini, di FK Indonesia, suasananya berbeda. Saat dosen bertanya, ruang kuliah tiba-tiba sunyi. Semua menunduk, sibuk mencatat. Bertanya sering kali dianggap menantang dosen, atau membuat teman lain menghela napas karena “membuang waktu pulang”. Kita lebih nyaman mencatat daripada bertanya. Lebih nyaman diam daripada keliru.

Padahal, justru dalam keliru kita belajar. Dalam salah kita menyempurnakan pemahaman.

Aku duduk di bangku taman CMU hari itu, menatap mahasiswa yang berjalan cepat di lorong-lorong kampus mereka. Aku belum pernah belajar di sana. Belum pernah duduk di kelas mereka. Tapi mataku sempat melihat. Dan, itu cukup untuk menyalakan mimpi kecilku:

Bahwa suatu hari, di kampusku sendiri, diskusi bukan lagi hal menakutkan. Bahwa mahasiswa FK Indonesia bisa belajar dengan rasa ingin tahu tanpa takut salah. Bahwa critical thinking bukan hanya materi ujian, tapi kebiasaan sehari-hari.

Karena menjadi dokter bukan hanya tentang menghafal nama obat dan penyakit. Menjadi dokter adalah tentang berpikir, bertanya, dan memahami—sebelum akhirnya memutuskan apa yang terbaik bagi kehidupan manusia lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published.