Jas Putih yang Terluka

Jas Putih yang Terluka

Sumber: Media Indonesia

Seorang dokter masuk ke ruang praktik, bukan hanya membawa ilmu dan peralatan medis, melainkan juga sebuah sumpah. Ia membawa sebuah sumpah yang tak terucap: untuk menjadi penyembuh, pendengar, dan penjaga harapan bagi setiap nyawa yang ada di tangannya. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, berdiri di garda depan melawan penyakit, menukar waktu dan tenaga demi kehidupan. Namun, di balik jas putih yang terhormat itu, ada kisah pilu yang jarang diceritakan: kisah tentang rasa takut yang menghantui, intimidasi yang membekap, bahkan kekerasan fisik yang menusuk. Pertanyaannya, bagaimana mungkin seorang pahlawan bisa bertahan jika setiap hari ia dihantui oleh ancaman dan kekerasan? Lebih jauh lagi, apa yang tersisa bagi masyarakat bila dokter kehilangan rasa aman?

Beberapa waktu terakhir, publik digemparkan oleh kasus intimidasi terhadap seorang dokter, dr. Syahpri Putra Wangsa, Sp.PD-KGH, di RSUD Sekayu, Musi Banyuasin. Seorang dokter yang seharusnya bekerja dalam ruang aman untuk menyelamatkan pasien justru mendapat tekanan verbal dari keluarga pasien. Peristiwa ini tidak hanya menyinggung soal etika, tetapi juga menggugah kesadaran kita: betapa rentannya tenaga medis menghadapi ancaman di tengah tugas mulianya.

Fenomena ini bukanlah hal baru di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, media kerap memberitakan kasus kekerasan terhadap tenaga medis. Misalnya, seorang dokter muda di Jawa Barat pernah mengalami intimidasi dari keluarga pasien yang tak menerima kondisi klinis yang sebenarnya sudah dijelaskan. Di wilayah lain, dokter dikejar dan diteriaki hanya karena pasien dianggap tidak ditangani dengan cepat. Bahkan ada kasus lebih ekstrem: dokter dipukul dan diancam di ruang praktiknya sendiri. Semua ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah tenaga medis masih memiliki ruang aman untuk bekerja di negeri ini?

Ruang klinik sejatinya adalah ruang penyembuhan. Di sana, pasien datang membawa rasa sakit dan harapan, sementara dokter hadir dengan ilmu dan pengabdian. Namun, ironisnya, ruang yang seharusnya menjadi tempat pemulihan justru beresiko berubah menjadi ruang ancaman. Intimidasi terhadap dokter memperlihatkan wajah kelam dari relasi antara pasien dan tenaga medis—sebuah relasi yang seharusnya dilandasi kepercayaan, kini kerap diwarnai kecurigaan, tekanan, bahkan tindak kekerasan.

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa kasus ini terus terjadi. Pertama, kurangnya literasi kesehatan di masyarakat. Tidak semua orang memahami bahwa proses penyembuhan memiliki keterbatasan medis dan risiko. Ketika hasil yang didapat tidak sesuai harapan, dokter menjadi “kambing hitam” yang paling mudah disalahkan.

Kedua, ketidakpuasan terhadap sistem pelayanan kesehatan. Antrian panjang, birokrasi rumit, dan keterbatasan fasilitas seringkali menimbulkan frustrasi. Alih-alih menyalahkan sistem, amarah masyarakat kerap ditumpahkan langsung kepada dokter atau tenaga kesehatan yang ada di lapangan.

Ketiga, masalah komunikasi kerap menjadi jurang yang memisahkan. Di satu sisi, banyaknya pasien yang harus dilayani membuat waktu dokter untuk menjelaskan kondisi secara rinci menjadi sangat terbatas. Di sisi lain, keluarga pasien menanti dengan gelisah, berharap mendapat kepastian dan kejelasan tentang orang yang mereka cintai. Ketika harapan bertemu dengan keterbatasan, lahirlah kesalahpahaman yang perlahan membesar dan tak jarang berubah menjadi konflik.

Keempat, masih adanya budaya kekerasan dan lemahnya penegakan hukum. Tidak sedikit kasus berakhir dengan dalih “diselesaikan secara kekeluargaan”, tanpa ada proses hukum yang benar-benar berpihak pada keadilan. Akibatnya, pelaku terus melenggang tanpa rasa takut, dan intimidasi terhadap dokter perlahan dianggap wajar—sebuah kenyataan pahit yang seharusnya tidak pernah menjadi normal.

Kekerasan terhadap dokter bukan hanya menyakiti individu korban, tetapi juga berdampak luas pada ekosistem layanan kesehatan. Dokter yang menjadi korban intimidasi rentan mengalami trauma psikologis, tekanan emosional, hingga kelelahan mendalam. Rasa takut yang terus menghantui bisa mempengaruhi kualitas pengambilan keputusan klinis. Alih-alih fokus pada pasien, dokter justru sibuk memikirkan keselamatannya sendiri. Lebih jauh lagi, kondisi ini juga mengancam regenerasi tenaga medis. Dokter muda atau residen bisa kehilangan motivasi untuk bekerja jika mereka melihat seniornya terus-menerus menjadi korban intimidasi. Situasi ini berpotensi memperburuk krisis tenaga medis yang saat ini sudah dihadapi Indonesia. 

Pasien dan keluarga tentu wajar merasa cemas, takut, atau kecewa saat menghadapi kondisi medis yang sulit. Namun, ekspresi emosi itu tidak seharusnya berujung pada kekerasan atau intimidasi kepada dokter. Kekerasan justru memperburuk keadaan, dokter kehilangan rasa aman dan kualitas pelayanan kesehatan ikut terdampak. Pada akhirnya, yang paling dirugikan adalah pasien dan keluarga itu sendiri. Di sisi lain, penting juga bagi institusi kesehatan untuk membangun sistem komunikasi yang empatik dan transparan, sehingga keresahan pasien dapat tertampung tanpa harus mengorbankan keselamatan tenaga medis.

Secara normatif, perlindungan terhadap dokter sebenarnya sudah cukup jelas. Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 menyebutkan bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum, keselamatan, serta jaminan keamanan dalam bekerja. Bahkan, aturan pidana dapat dikenakan pada pihak yang melakukan kekerasan terhadap tenaga medis. Namun, realitas di lapangan sering kali jauh dari ideal. Banyak kasus berakhir tanpa proses hukum tegas. Pertimbangan “empati terhadap keluarga pasien” atau dorongan untuk menjaga citra institusi kerap membuat kasus diselesaikan secara damai. Akibatnya, intimidasi dianggap wajar, dan dokter dibiarkan bekerja di bawah bayang-bayang ancaman. Hal ini menunjukkan bahwa peraturan tanpa penegakan hanyalah formalitas. Dibutuhkan keberanian dari institusi kesehatan, organisasi profesi, dan aparat penegak hukum untuk mengawal kasus hingga tuntas. Tanpa itu, dokter akan terus menjadi pihak yang rentan dikorbankan.

Ketika seorang dokter masuk ke ruang praktik, ia membawa tanggung jawab besar: menjaga kehidupan. Namun, tanggung jawab ini tak seharusnya dijalani dalam bayang-bayang ketakutan. Dokter berhak bekerja dengan aman, sebagaimana pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan terbaik. 

Dokter adalah manusia, bukan mesin pelayanan. Mereka memiliki hak atas rasa aman sebagaimana pasien berhak atas layanan kesehatan. Hubungan dokter dan pasien semestinya berakar pada kepercayaan, seperti nyawa yang dititipkan pada tangan yang menolong. Namun bila kepercayaan diganti dengan ancaman, maka yang hilang bukan hanya rasa aman dokter, melainkan juga harapan pasien akan kesembuhan.

Keamanan dokter adalah fondasi layanan kesehatan yang bermutu. Tidak ada pengabdian yang bisa berjalan baik jika nyawa dan martabat tenaga medis selalu dipertaruhkan. Karena itu, setiap intimidasi terhadap dokter harus kita suarakan bersama—bukan hanya demi mereka yang bekerja di garis depan, tetapi juga demi masa depan layanan kesehatan Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published.