Oleh: El Firdauso
Pagi ini, tepatnya minggu 2 Maret 2025 yang juga bersamaan dengan hari ke 2 Ramadhan, Surabaya menyapaku. Dia menyapaku saat Aku sedang menuju kampus untuk belajar. Aku termenung sejenak, mengapa selama ini suara ini tidak pernah terdengar? “Kenapa baru kau sapa aku sekarang? Aku sudah ada disini sejak aku lahir 20 tahun lalu.” Kataku. “Mungkin ini waktu yang tepat untuk bercerita.” Kata Surabaya.
Surabaya memulai bercerita dengan pertanyaan.
“Apakah pagi ini suasanaku tenang?” Kata Surabaya.
“Iya, mungkin pagi ini kau sangat tenang, tak biasanya jalanan sesepi ini, tak biasanya tak ada ramai kendaraan yang memekakkan telinga, tak biasanya mentari bersinar hangat dan tak panas, tak biasanya pula udaramu berasap dan tak sedap untuk dicium.” Kataku
“Lalu apakah kau menerimaku sebagai kotamu?” Tanya Surabaya kembali.
“Apa maksudmu? Tentu kau adalah kota tempat tinggalku, tentu juga kau adalah tempat kelahiranku.” Jawabku
“Hanya sebagai tempat tinggal dan tempat lahir atau lebih dari itu?” Tanya Surabaya.
“Apa maksudmu? Tentu lebih dari itu, kaulah tempat orang tua ku mencari nafkah untuk ku. Tempat banyak orang tua dari kota lain mengadu nasib demi kehidupan yang lebih layak. Engkau juga salah satu pusat pendidikan bagi para penuntut ilmu yang ingin mendalami lautan kebijaksanaan ilmu. Kau juga tempat para pahlawan berjuang dahulu sehingga kau dapatlah julukan mu wahai kota pahlawan. Kau adalah sejarah dan Kau lah tempat semua kisah menjadi sejarah dan terus berjalan surabaya, mengapa kau tanya hal yang tak masuk akal begitu?” Jawabku dengan tegas.
“Kau tak mengerti maksudku.” Jawab Surabaya ketus. Bak seorang gadis yang maunya dimengerti lebih dengan kata yang kurang.
“Bagaimana maksudmu?” Tanyaku penasaran.
Disitulah Surabaya bercerita,
“Coba kau rasakan sepi pagi ini yang tenang. Jalananku yang sepi diiringi angin dari pepohonan di kanan kiri jalan itu. Coba kau amati kampus tempatmu berkuliah itu, amati bagaimana tenangnya tempatmu belajar. Kau amati sekitarmu lagi. Bukankah ini rumah buatmu? Rumah dimana Kau mengakui bahwa inilah asalmu. Rumah dimana kau bangga memiliki tempat tinggal sepertiku bukan karena terpaksa, bukan karena hanya aku memiliki banyak fasilitas yang memenuhi kehidupanmu lalu kau berpaling dariku setelah kau mendapatkannya. Rumah yang bukan hanya disinggahi orang tanpa diberi penghargaan. Berapa banyak kau dengarkan keluhan orang lain yang mampir kesini? Berapa banyak kau dengar keluhan bahwa surabaya sangat kacau, tidak tenang seperti pedesaan. Surabaya sangat kotor, tidak asri seperti tempatnya tinggal. Surabaya sangat padat, tidak seperti hamparan luas yang ada di kampungnya. Surabaya tidak ini dan itu, tidak ada alam, hanya bangunan-bangunan tinggi tempat orang mencari harta dunia tanpa berhenti. Namun, itu tak mengapa, Aku bangga bisa menjadi tempat orang mencari kekuatan dan kasih sayang lalu kembali ke halaman mereka untuk menyebarkan apa yang mereka dapat dariku. Tenang, Aku tak marah, Aku hanya ingin bercerita kepadamu wahai anak yang memiliki tempat lahir di tanahku ini. Karena mungkin, hanya anak yang lahir dan besar disinilah yang akan bisa mendengar ceritaku.”
Lalu, surabaya berhenti berbicara dan jiwanya masuk ke dalam jiwaku pagi itu. Jiwa akan kecintaan terhadap Surabaya yang selama ini terpendam untuk tumbuh.
Setelah pembicaraan itu selesai, ternyata aku sudah sampai di kampus tempatku belajar. Masuklah aku ke dalam masjid untuk melaksanakan sholat duha. Lalu, dalam hati kecilku setelah sholat, aku berkata “terima kasih Surabaya atas semuanya, Engkau sekarang tak hanya sebuah tempat singgah, namun juga menjadi tempatku untuk kembali.”
El Firdauso, 2 Maret 2025
– Ditulis setelah perjalanan ke kampus untuk belajar UAB IKA di FK semester 6
Leave a Reply