Oleh : Adam Rafi Saputra dan Danang Langit Bagaskoro
Di sebuah kerajaan bernama Aldoria, hiduplah seorang raja bijaksana bernama Alastor yang memimpin rakyatnya dengan penuh kedamaian. Namun, suasana damai itu berubah menjadi kacau ketika serangkaian peristiwa aneh melanda desa-desa di pinggiran kerajaan. Beberapa penduduk ditemukan jatuh sakit setelah digigit oleh hewan liar, terutama anjing dan kelelawar yang tampak agresif. Penyakit ini misterius, ditandai dengan demam tinggi, kejang, dan akhirnya menyebabkan kematian. Warga menyebutnya sebagai “Kutukan Rabidra,” menganggapnya sebagai kutukan yang dikirim oleh sang penyihir gelap.
Desas-desus tentang kutukan ini menyebabkan kepanikan di seluruh Aldoria. Orang-orang mulai mengasingkan para korban, bahkan sebelum gejalanya muncul, karena takut penyakit itu akan menyebar seperti wabah. Pasar- pasar menjadi sepi karena pedagang takut berinteraksi dengan orang asing. Kehidupan ekonomi kerajaan pun terganggu. Raja Alastor yang bingung akhirnya meminta bantuan kepada seorang Sage Auralis, seorang penyihir agung yang dikenal karena keahliannya dalam mengungkap misteri penyakit.
Misi Penyelidikan Sage Auralis
Auralis menemukan bahwa penyakit itu bukanlah kutukan, melainkan disebabkan oleh makhluk kecil yang bahkan tak terlihat oleh mata manusia. Ia menggunakan ilmu sihir dan alat pembesar magis untuk mengamati partikel berbentuk seperti peluru yang ada dalam tubuh orang yang telah mati. “Ini adalah makhluk kecil yang disebut virus,” jelas Auralis kepada raja. “Ia memiliki suatu selubung pelindung dan mematikan. Ia menyerang tubuh mereka yang digigit oleh hewan yang telah terinfeksi oleh mahluk ini.”
Solusi di tengah Kepanikan
Auralis tahu bahwa virus itu hanya dapat menyebar melalui gigitan hewan yang terinfeksi, bukan dari orang ke orang. Ia membuat ramuan perlindungan berdasarkan pengetahuannya. Namun, akar Valoran dan air mata Phoenix, yang merupakan bahan utama pembuatan ramuan ini, hanya dapat ditemukan di hutan terlarang di timur kerajaan.
Dengan cekatan, Raja Alastor segera menyiapkan pasukan khusus untuk dikirim mencari bahan-bahan tersebut. Sementara itu, Auralis menganjurkan pada raja untuk mengedukasi rakyat cara menjaga lingkungan tetap bersih dan menghindari keberadaan hewan liar.
Perjuangan dan Kesadaran
Bahan-bahan ramuan berhasil dikumpulkan setelah banyak tumpah darah yang dilalui. Auralis menghasilkan ramuan antimikroba yang dapat menghentikan penyebaran penyakit. Walau bagaimanapun, wabah itu masih memengaruhi masyarakat dan ekonomi. Banyak keluarga kehilangan anggota mereka, pasar tetap tidak beroperasi, dan masyarakat masih dihantui oleh ketakutan akan serangan hewan liar.
Raja Alastor memerintahkan tabib–tabibnya untuk memberi ramuan sihir pencegah pada hewan hewan terinfeksi yang telah diamankan. Ternyata, pemberian ramuan sihir pencegah ke hewan yang terinfeksi justru membahayakan para tabib. Melihat kondisi itu, Raja Alastor pun kebingungan. Kira-kira apa ya yang bisa dilakukan Raja Alastor?
Rabies
Rabies adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus, berbentuk peluru, dan dilengkapi dengan selubung yang termasuk dalam genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae, yang menyerang sistem saraf. Penyakit ini sangat mematikan, dengan hampir tidak ada harapan kesembuhan setelah gejalanya tampak. Virus rabies biasanya ditularkan melalui gigitan hewan yang terinfeksi, seperti anjing, kucing, atau kelelawar, karena virus ini terdapat dalam air liur hewan tersebut.1,2
Jadi, perjalanan virus rabies itu sebenarnya cukup sederhana, tetapi sangat berbahaya. Virus ini pertama kali masuk ke tubuh manusia lewat gigitan hewan yang terinfeksi. Biasanya, gejalanya bisa terlihat dari sikap agresif atau sering keluar air liur. Begitu virus masuk lewat luka gigitan, ia mulai bergerak lewat saraf menuju otak. Tujuan utamanya jelas, infeksi otak! Begitu sampai di otak, virus ini mulai merusak sel-sel otak, bikin otak jadi nggak berfungsi dengan baik.2 Hasilnya, muncul lah gejala khas rabies, seperti kesulitan menelan, kejang, sampai bisa bikin orang jadi agresif. Makanya, penting banget buat waspada dan segera ditangani kalau sampai tergigit hewan yang dicurigai rabies.
Gejala klinis rabies dibagi berdasarkan bagian otak yang diinfeksi oleh virusnya. Pada awal infeksi, gejalanya masih mirip dengan penyakit biasa, seperti demam, mual, muntah, sakit tenggorokan, dan tubuh yang lemas. Gejala ini biasanya muncul dalam 2–10 hari setelah seseorang atau hewan tergigit. Namun, setelah beberapa waktu, gejala khas rabies muncul, yang dibagi menjadi dua fase: fase encephalitis (peradangan otak) dan fase paralisis (kelumpuhan).2
Pada fase encephalitis, yang biasanya berlangsung 2–7 hari, gejala menjadi lebih jelas. Anjing yang terinfeksi rabies bisa jadi sangat galak dan tidak teratur dalam bertindak karena perubahan pada perilaku dan kecenderungan menggigit. Suara anjing bisa berubah, bahkan kesulitan menelan atau berbicara, yang menyebabkan air liur menetes. Pada manusia, gejala yang timbul termasuk perasaan cemas berlebihan, masalah pada tubuh seperti peningkatan air liur, tubuh gemetar, gangguan detak jantung, hingga gerakan tak terkendali. Selain itu, penderita bisa merasa takut terhadap air (hidrofobia) atau takut terhadap udara terbuka (aerofobia). Halusinasi dan kebingungan juga bisa muncul karena gangguan pada otak. Berbeda dengan manusia, anjing tidak mengalami ketakutan terhadap air.1
Jika seseorang atau hewan berhasil bertahan pada fase ini, infeksi bisa berlanjut ke fase kelumpuhan. Pada fase paralisis, yang bisa berlangsung antara 2–10 hari, gejala kelumpuhan mulai terjadi. Pada anjing, ciri paling khas adalah rahang yang terkulai karena kelumpuhan otot. Mereka kesulitan menelan dan mengeluarkan air liur secara berlebihan. Kelumpuhan ini juga menyebar dari anggota tubuh yang terluka hingga ke leher dan kepala, yang pada akhirnya bisa menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung dan pernapasan Pada manusia, kelumpuhan terjadi karena virus menyerang sumsum tulang belakang. Ada beberapa jenis kelumpuhan yang bisa terjadi, mulai dari kelumpuhan lemas hingga kelumpuhan total. Pada akhirnya, penderita bisa mengalami koma dan kematian dalam beberapa hari.1
Rabies memiliki dampak serius terhadap masyarakat, terutama karena potensi kematian yang tinggi jika tidak diobati dengan cepat. Meskipun rabies dapat dicegah melalui vaksinasi massal, penyakit ini tetap menjadi beban kesehatan masyarakat, terutama di negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya teknis dan finansial untuk mengendalikan rabies pada populasi hewan.3 Selain itu, dampak rabies juga terasa di sektor sosial dan ekonomi, yang mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas.
Secara sosial, rabies menimbulkan ketakutan dan kecemasan di masyarakat. Penyakit ini dapat mempengaruhi interaksi sosial dan mobilitas masyarakat, terutama di daerah yang memiliki tingkat infeksi tinggi. Upaya pencegahan dan edukasi masyarakat tentang bahaya rabies serta cara penanganannya sangat penting untuk mengurangi dampak negatif penyakit ini.4
Dampak ekonomi akibat rabies sangat signifikan, terutama dalam hal hilangnya produktivitas masyarakat dan pembiayaan vaksinasi anti rabies (VAR) maupun serum anti rabies (SAR). Kerugian ekonomi akibat rabies diperkirakan mencapai 8,6 miliar USD per tahun secara global, yang mencakup biaya rumah sakit, obat-obatan (termasuk vaksin dan pengobatan), serta biaya aktivitas yang terganggu. Di Indonesia, meskipun belum ada dokumentasi ilmiah yang menyeluruh, studi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 1998–2007 memperkirakan kerugian ekonomi mencapai 14,2 milyar rupiah per tahun. Sementara itu, di Bali, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh wabah rabies antara 2008–2011 diperkirakan mencapai 17 juta USD (sekitar 230 miliar rupiah).3
Seperti yang dikatakan di paragraf sebelumnya, rabies adalah penyakit yang sangat berbahaya dan menjadi salah satu penyakit yang sulit diatasi di indonesia, bahkan dunia. Mengapa prevalensi rabies sangat sulit untuk ditekan? Ada beberapa faktor yang dapat menjawab pertanyaan tersebut. Pertama, tingkat pengetahuan umum mengenai penyakit rabies pada masyarakat Indonesia masih kurang dan belum merata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di desa Kuaklalo, Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, mereka diberikan sebuah pre-test sebelum pemberian penyuluhan mengenai pengetahuan dan sikap terhadap penyakit rabies untuk mengukur tingkat pemahaman responden. Dari 10 pertanyaan pengetahuan umum mengenai penyakit rabies yang diberikan, didapatkan hasil sebanyak 40% responden menjawab dengan benar, 14% responden menjawab salah, dan 44,5% responden menjawab tidak tahu. Dari hasil pengisian pre-test tersebut, dapat dinilai rendahnya tingkat pengetahuan responden mengenai pengetahuan dan sikap terhadap penyakit rabies.5
Faktor lainnya adalah cakupan vaksinasi yang rendah, Minimnya vaksinasi pada hewan yang bisa menyebarkan rabies, seperti anjing, masih menjadi masalah besar dalam pengendalian rabies di Indonesia. Misalnya saja di Bali, hanya sekitar 24% anjing yang divaksin pada 2020.6
Walaupun sempat naik jadi 40% di 2021, tahun berikutnya malah turun drastis jadi 15% aja.7 Masalah ini semakin rumit karena banyak anjing dibiarkan berkeliaran tanpa pengawasan. dan tenaga vaksinasi seperti dokter hewan juga kurang. Selain itu, informasi soal pentingnya vaksinasi sering nggak sampai ke masyarakat, ditambah lokasi vaksinasi yang susah dijangkau.8
Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya penanganan luka gigitan hewan penular rabies (HPR) secara cepat dan tepat juga mengambil peran besar akan tingginya prevalensi rabies di Indonesia. Berdasarkan data di Bali, hanya 5,8% korban gigitan yang mencuci luka dengan air mengalir dan desinfektan sebelum mencari pertolongan medis. Bahkan, tidak ada pasien yang menerima serum anti-rabies (SAR), meskipun ini merupakan langkah penting dalam mencegah infeksi rabies setelah gigitan.9 Banyak masyarakat yang masih menganggap remeh gigitan anjing atau menggunakan metode tradisional seperti mengoleskan kopi, minyak tanah, atau tumbuhan herbal pada luka gigitan. Hal ini tidak hanya memperburuk risiko infeksi tetapi juga menunda akses ke pelayanan kesehatan yang dapat memberikan vaksin anti-rabies (VAR) secara tepat waktu. Selain itu, edukasi tentang langkah-langkah pertolongan pertama seperti mencuci luka selama 15 menit dengan sabun dan air mengalir masih sangat terbatas. Ternyata berat juga ya tantangan yang dihadapi negara kita untuk menekan prevalensi penyakit rabies ini. apakah kita punya titik terang?
“Mencegah Lebih Baik Daripada Mengobati”
Kata-kata yang ratusan bahkan ribuan kali kita dengar sejak kecil sampai sekarang. Apakah kata-kata tersebut relatable dengan penangan penyakit rabies ini? JELAS, fakta mengatakan bahwa pasien pasca tergigit hewan yang terinfeksi rabies hampir 100% menuju pada kematian.1 Maka dari itulah kita perlu melakukan upaya pencegahan melalui metode promotif dengan tip jitu:
“CEGAH RABIES”
(Cerdas Edukasi, Galakkan Aksi, Handle Rabies)
Cerdas Edukasi diwakilkan dengan meningkatkan pengetahuan umum masyarakat mengenai penyakit rabies, sementara Galakkan Aksi diwakilkan memperluas cakupan vaksinasi. Keduanya, harus lebih diserukan di seluruh wilayah di Indonesia. Daerah-daerah lain di Indonesia agaknya bisa mulai meniru program dharma yang ada di Bali. Tim Siaga Rabies (TISIRA) yang berbasis di desa terlibat dalam program ini untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat, mengalokasikan populasi anjing, dan melakukan vaksinasi massal. Program penanggulangan rabies dimulai dengan pembentukan Tim Siaga Rabies (TISIRA) di tingkat desa, yang melibatkan berbagai elemen masyarakat seperti kepala desa, bidan desa, tokoh agama, polisi desa (Polprades), dan Babinsa. Tim ini bertugas untuk memberikan edukasi kepada masyarakat tentang rabies melalui penyuluhan yang disampaikan secara rutin, baik melalui media cetak maupun digital.
Selain itu, vaksinasi massal anjing dilaksanakan secara berkala dengan target cakupan minimal 70% berdasarkan data populasi anjing yang dikumpulkan oleh TISIRA untuk memastikan bahwa vaksinasi yang diberikan tepat sasaran. Penerapan Peraturan Desa (PerDes) dan Perarem juga berperan penting dalam mencegah pelepasan anjing liar, yang dapat mengurangi resiko gigitan anjing tak bertuan. Sebagai upaya lebih lanjut, TISIRA bekerja sama dengan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Bali serta Puskesmas setempat untuk menangani kasus gigitan anjing dan mencegah penyebaran rabies (sitasi). Hingga 2024, cakupan vaksinasi anjing di Bali sudah mencapai lebih dari 70%, hal ini menurunkan jumlah kasus gigitan HPR dan kematian akibat rabies.10
Tak kalah penting dari meningkatkan pengetahuan umum masyarakat mengenai penyakit rabies dan memperluas cakupan vaksinasi, upaya yang bisa ditambahkan adalah , Handle Rabies, memastikan bahwa masyarakat paham mengenai penanganan luka gigitan hewan penular rabies. Pelatihan kader kesehatan turut menjadi bagian penting dari program dharma, untuk memastikan informasi tentang langkah-langkah penanganan gigitan HPR, seperti cara mencuci luka dengan air mengalir dan sabun selama 15 menit, bisa tersebar luas. Program dharma bukan hanya berhasil menanggulangi rabies, tetapi juga mengedukasi masyarakat dan melindungi kesehatan publik.
Jangan Tunggu Sampai Kena
Program CEGAH (Cerdas Edukasi, Galakkan Aksi, Hindari Rabies) yang kami usulkan merupakan langkah strategis dalam mengatasi tantangan penanggulangan rabies di Indonesia. Melalui pendekatan berbasis komunitas, program ini berfokus pada tiga pilar utama: edukasi masyarakat, peningkatan cakupan vaksinasi, dan penguatan penanganan luka gigitan hewan penular rabies (HPR). Edukasi dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang bahaya rabies, pentingnya vaksinasi, serta langkah-langkah penanganan luka gigitan secara tepat. Dengan demikian, masyarakat diharapkan memiliki sikap proaktif dalam mencegah penyebaran rabies.
Pilar kedua, yaitu galakkan aksi, berfokus pada pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan cakupan vaksinasi hewan, terutama anjing, yang merupakan reservoir utama virus rabies. Untuk itu, perlu diterapkan inovasi baru dalam pendekatan vaksinasi, seperti pemanfaatan teknologi berbasis data untuk memetakan dan memonitor populasi anjing di tingkat lokal. Melalui sistem informasi geografis (SIG), vaksinasi dapat lebih terarah dan terstruktur, dengan mengidentifikasi area-area rawan rabies dan memastikan setiap anjing mendapatkan vaksinasi. Selain itu, kerjasama dengan masyarakat setempat untuk pengendalian populasi anjing liar melalui program adopsi atau sterilisasi dapat mengurangi penyebaran virus. Dengan cakupan vaksinasi yang lebih tinggi dan sistem pengendalian populasi yang lebih efisien, penularan rabies dapat ditekan secara signifikan.
Terakhir, program ini menitikberatkan pada upaya pencegahan melalui penanganan luka gigitan secara cepat dan tepat. Pelatihan kader kesehatan menjadi kunci dalam menyebarluaskan informasi terkait langkah-langkah pertolongan pertama, seperti mencuci luka dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit. Langkah ini tidak hanya menekan risiko infeksi rabies tetapi juga meningkatkan akses masyarakat ke fasilitas kesehatan yang dapat menyediakan vaksin anti-rabies (VAR) dan serum anti-rabies (SAR).
Dengan mengintegrasikan edukasi, aksi vaksinasi, dan penguatan penanganan luka gigitan dalam satu program, CEGAH bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih tanggap, teredukasi, dan siap menghadapi ancaman rabies. Program ini tidak hanya berfokus pada pencegahan penyakit tetapi juga berkontribusi pada kesehatan masyarakat secara holistik, mengurangi beban ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
- Kumar A, Bhatt S, Kumar A, Rana T. Canine rabies: An epidemiological significance, pathogenesis, diagnosis, prevention, and public health issues. Vol. 97, Comparative Immunology, Microbiology and Infectious Diseases. Elsevier Ltd; 2023.
- Kasper DL, Fauci AS. Harrison’s Infectious Diseases, 3/E. McGraw Hill Professional; 2016.
- Pertanian K, Food and Agriculture Organization, F, World Animal Protection. W. Masterplan Nasional Pemberantasan Rabies di Indonesia. 2019.
- Jane Ling MY, Halim AFNA, Ahmad D, Ramly N, Hassan MR, Syed Abdul Rahim SS, et al. Rabies in Southeast Asia: a systematic review of its incidence, risk factors and mortality. BMJ Open [Internet]. 2023 May 1;13(5):e066587. Available from: http://bmjopen.bmj.com/content/13/5/e066587.abstract
- Siti Nadia. Hingga April 2023 ada 11 Kasus Kematian Karena Rabies, Segera ke Faskes jika Digigit Anjing! [Internet]. Sehat Negeriku. 2023. Available from: https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230602/3343156/hingga-april-2023-ada-11-kasus-kematian-karena-rabies-segera-ke-faskes-jika-digigit-anjing/
- Merthayasa, J. D., Moriani Jacob, J. ., Neliyani Toelle, N. ., & Moenek, D. Y. J. A. (2024). Aspek Pengetahuan Dan Sikap Pemilik Hewan Kesayangan Di Desa Kuaklalo Terhadap Penyakit Rabies. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Nusantara, 5(1), 359-365.
- Mamoto GG, Gosal R, Liando DM. Implementasi Kebijakan Pemerintah Dalam Penanggulangan Hewan Beresiko Rabies Di Kabupaten Minahasa Tenggara (Studi Di Dinas Pertanian Kab. Minahasa Tenggara). JURNAL GOVERNANCE. 1(2):2021.
- Aptriana, C. D., Sudarnika, E., & Basri, C. (2022). Nationally and locally-initiated One Health approach in controlling rabies in West Kalimantan, Indonesia. Veterinary world, 15(12), 2953–2961. https://doi.org/10.14202/vetworld.2022.2953-2961
- Subrata M, Purnama SG, Utami A, Karang Agustina K, Swacita I. ROLE OF STAKEHOLDER IN RABIES CONTROL WITH INTEGRATED ONE HEALTH APPROACH IN BALI. Vol. 09, Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia : JKKI.
- Dewa W, Kenzu. Indonesia’s Bali intensifies rabies vaccination for pets [Internet]. Antara News. ANTARA; 2024 [cited 2024 Dec 29]. Available from: https://en.antaranews.com/news/327715/indonesias-bali-intensifies-rabies-vaccination-for-pets
Leave a Reply