Menjemput Kemenangan yang Tertunda: AORTA 2025 (Bagian 2)

Menjemput Kemenangan yang Tertunda: AORTA 2025 (Bagian 2)

Oleh: Deva Fitra Firdausa Anwar

Di Makassar ini, kami akan bertarung.
Dan kami akan memastikan bahwa kami bukan hanya sekadar peserta—melainkan, calon juara.

Babak Semifinal: Ujian Ketahanan Fisik dan Mental

Semifinal AORTA 2025 bukan sekadar ujian akademik biasa. Ini adalah arena di mana strategi, ketangkasan, dan daya tahan diuji dalam lima pos yang telah disiapkan panitia. Setiap tantangan yang kami hadapi menggabungkan aspek teori dan praktik, menguji tidak hanya pengetahuan kedokteran kami tetapi juga kemampuan untuk berpikir cepat dan bekerja sama di bawah tekanan.

Pagi itu, kami melakukan pemanasan bersama seluruh peserta terlebih dahulu sembari mempersiapkan fisik agar siap berlari dan menerjang semua pos yang ada dengan suasana yang terasa makin menegangkan. Semua peserta, termasuk aku dan Mas Fian, berdiri tegak, menunggu aba-aba dari panitia. Ketika peluit dibunyikan, kami langsung bergerak menuju pos pertama, GOR Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (FK Unhas).

Di pos ini, kami dihadapkan pada permainan kelereng—terkesan seperti permainan anak-anak, tetapi dalam kondisi ini, kesabaran dan ketenangan diuji secara maksimal. Sambil berusaha menjaga keseimbangan dan fokus, kami harus menjawab serangkaian pertanyaan dari dewan juri. Setiap pertanyaan yang dijawab dengan benar memberikan tambahan kepercayaan diri. Namun, setiap detik yang terbuang karena kesalahan kecil terasa begitu mahal.

Berlanjut ke pos kedua, kami tiba di Ruang Praktikum Anatomi (RP Anatomi). Kali ini, tantangan kami semakin berat. Ada serangkaian kartu yang harus dicocokkan terlebih dahulu untuk mendapatkan petunjuk ke tugas utama. Setelahnya, kami harus menunjukkan struktur organ yang mengalami gangguan pada kadaver dan menentukan diagnosis berdasarkan pemeriksaan penunjang yang tersedia. Dua siklus harus kami lewati, dua kasus harus kami pecahkan. Kami berpacu dengan waktu, berusaha membaca setiap detail dengan teliti. Bau khas formalin memenuhi ruangan, menambah kesan mendalam akan ujian ini.

Memasuki pos ketiga, kami memiliki dua pilihan:

  1. Fast track – menyusun puzzle kelainan penglihatan dalam waktu singkat agar bisa langsung melaju ke pos 5 tetapi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi
  2. Jalur biasa – menjawab pertanyaan satu per satu dan bergerak secara bertahap tetapi dengan tingkat kesulitan yang lebih rendah.

Aku dan Mas Fian berdiskusi singkat. Risiko gagal dalam menyusun puzzle terlalu besar terutama mengetahui bahwa tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Jika kami tidak menyelesaikannya dalam waktu yang ditentukan, kami bisa kehilangan banyak kesempatan. Akhirnya, kami memilih jalur biasa, menempuh langkah demi langkah dengan pasti. Keputusan ini ternyata tepat. Kami berhasil menjawab pertanyaan dengan lancar dan bergerak lebih cepat dari yang kami bayangkan.

Di pos keempat, kerja sama tim benar-benar diuji. Kami harus mengendalikan spidol menggunakan tali, menggambar jalur yang telah ditentukan, sambil tetap fokus menjawab pertanyaan dari penguji. Setiap gerakan yang salah bisa menggagalkan pola gambar yang diminta. Aku dan Mas Fian saling memberikan isyarat, memastikan tarikan tali kami seimbang. Tantangan ini mengajarkan bahwa komunikasi yang baik dalam tim jauh lebih penting daripada sekadar kecepatan.

Saat tiba di pos terakhir, kami melihat lapangan mini golf telah disiapkan. Namun, ini bukan sekadar permainan biasa. Setiap pukulan yang kami lakukan akan menentukan jenis soal kasus yang akan kami dapatkan. Jika bolanya masuk ke lubang yang sulit, maka pertanyaannya akan lebih kompleks. Aku menarik napas dalam, lalu dengan satu ayunan terukur, bola meluncur ke jalur yang aman. Kami menjawab pertanyaan dengan mantap, menggunakan semua pengalaman dan latihan yang telah kami lalui selama ini. Kami pun dengan cepat melalui pos ini dan bergegas berlari sekuat tenaga menuju garis finis yang berada di balik gedung posisi kami sekarang ini.

Ketika akhirnya kami melewati garis finis, aku menoleh ke belakang—tidak ada tim lain yang lebih dulu sampai. Kami adalah tim pertama yang menyelesaikan semua tantangan. Kemenangan kecil ini memberikan kami energi baru.

Malam Pengumuman Finalis: Gala Dinner dan Tekad yang Tak Padam

Selepas babak semifinal yang menguras tenaga, panitia mengadakan gala dinner sebagai bagian dari rangkaian acara sebelum pengumuman finalis. Malam itu, suasana di ballroom terasa lebih santai dibandingkan siang tadi. Para peserta dari berbagai universitas duduk dalam satu ruangan, menikmati hidangan yang telah disiapkan sambil berbincang santai. Namun, di balik tawa dan obrolan ringan, ada ketegangan yang terasa di udara—semua orang menunggu hasil pengumuman.

Saat pembawa acara naik ke atas panggung dan mulai membacakan nama-nama tim yang lolos ke final, aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Satu per satu nama tim disebutkan, dan ketika akhirnya nama FK UNAIR diumumkan sebagai salah satu finalis, aku dan Mas Fian saling bertukar pandang—senyum puas terukir di wajah kami. Kami telah sampai di titik ini, dan besok adalah saatnya untuk membuktikan bahwa kami layak menjadi yang terbaik.

Setelah acara selesai, kami kembali ke kamar hotel. Namun, alih-alih langsung beristirahat, kami memilih untuk belajar bersama. Di dalam kamar yang penuh dengan tumpukan buku dan catatan, kami mengulas ulang materi, memprediksi kemungkinan soal, dan menyusun strategi terbaik untuk esok hari.

Waktu terus berjalan. Ketika jam menunjukkan pukul 12 malam, rasa lelah akhirnya mulai menguasai tubuh kami. Mata yang awalnya penuh semangat kini mulai terasa berat. Setelah berdebat apakah kami harus lanjut atau tidak, akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat di kamar masing-masing.

Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar hotel yang remang-remang. Dalam hati, aku berbisik, “Besok adalah hari penentuan. Tidak ada lagi waktu untuk ragu.” Dengan pikiran penuh strategi dan semangat yang masih membara, aku memejamkan mata, bersiap untuk pertempuran terakhir di final.

Langit Makassar masih gelap ketika kami bersiap. Ini adalah hari penentuan. Ini adalah momen di mana pertanyaan yang menggelitik pikiranku sejak lama akan menemukan jawabannya—apakah aku bisa membalas kekalahan sebelumnya?

Udara pagi terasa sejuk, namun dadaku berdebar kencang. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikiran yang dipenuhi berbagai strategi dan antisipasi tantangan yang akan kami hadapi hari ini. Empat universitas akan menjadi saksi perjuangan kami: UNISMUH, UIN Alauddin, UMI, dan UNHAS. Tidak ada keuntungan start lebih awal kali ini. Semua tim memulai pada titik yang sama. Namun, hal itu tidak melemahkan tekadku—sebaliknya, semangat juangku semakin membara.

Pos Pertama: Menguji Keseimbangan dan Ketangkasan

Tantangan pertama mengharuskan aku dan Mas Fian untuk mengangkat tongkat menggunakan kaki sambil menjawab pertanyaan medis yang dilemparkan oleh juri. Aku bisa merasakan otot-otot kakiku menegang, berusaha menjaga keseimbangan sebaik mungkin. Tongkat terasa licin, tetapi aku tak boleh kehilangan fokus. Sementara itu, kami harus tetap berpikir cepat untuk memberikan jawaban yang tepat.

Salah satu yang pertanyaan yang kami dapat adalah:

“Sebutkan nama dari tes provokasi yang dilakukan dengan posisi pasien pronasi, lutut fleksi 90 derajat, serta kaki digerakkan ke luar dan dalam!” seru juri saat membaca kertas yang kami dapatkan.

Aku berpikir sejenak, lalu menjawab dengan mantap di atas kertas jawaban, “Apley Grinding Test”.

Juri mengangguk, memberikan isyarat bahwa kami bisa melanjutkan. Dengan hati-hati, kami menyelesaikan tugas pertama dan segera berlari ke mobil untuk bergegas ke pos berikutnya yang berada di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.

Pos Kedua: Puzzle Vaskularisasi dan Studi Kasus

Setibanya di lokasi pos 2, kami langsung berlari menuju ruangan yang menjadi lokasi pengerjaan pos. Kami menjadi tim pertama yang datang ke pos ini.

Di pos ini, kami harus menyusun puzzle yang menunjukkan vaskularisasi organ sebelum diberikan sebuah kasus medis untuk dianalisis. Tangan kami bekerja cepat, menyusun setiap bagian dengan penuh ketelitian.

“Aku adalah sebuah organ pada pria yang bertugas melakukan produksi cikal bakal manusia dan dilindungi oleh berlapis-lapis struktur. Aku sangat sensitif dengan suhu serta mendapat vaskularisasi dari struktur yang berada di abdomen” tanya juri.

Aku dan Mas Fian saling bertukar pandang. “Testis,” jawab Mas Fian dengan mantap.

Juri kembali mengangguk. Dengan cepat kami melanjutkan mengerjakan sisa di pos kedua dan Alhamdulillah, juri membenarkan semua jawaban kami.

Dengan lega, kami melanjutkan perjalanan ke pos berikutnya.

Pos Ketiga: Permainan Ddakji dan Tantangan Tebak Organ

Di pos ketiga, kami harus memainkan ddakji, permainan tradisional asal Korea yang membutuhkan ketepatan dan kekuatan dalam menjatuhkan kertas lipat lawan. Aku mengambil napas panjang, fokus pada sudut serangan, dan menghantam ddakji lawan dengan keras.

Plak! Kertas itu terbalik sempurna.

Tanpa membuang waktu, kami melanjutkan ke tantangan berikutnya: menebak organ dari petunjuk yang diberikan.

Tantangan demi tantangan kami lalui dengan fokus dan kecepatan yang semakin terasah. Setiap langkah membawa kami semakin dekat dengan tujuan.

Pos Keempat: Permainan Kasti dan Kasus Medis Terakhir

Pos terakhir menuntut kami untuk bermain kasti, sebuah permainan yang menuntut strategi, kecepatan, dan akurasi dalam menjawab pertanyaan kasus medis. Permainan dimainkan dengan sistem bola kasti dan harus menjawab empat pertanyaan dengan benar secara berturut-turut berdasar hasil pukulan bola kasti untuk bisa mendapat clue terakhir ke finish line.

Aku menggenggam bola erat-erat, bersiap untuk melemparkannya ke arah target. Saat bola meluncur dan mengenai sasaran, pertanyaan terakhir pun diberikan.

“Seorang pasien datang dengan keluhan nyeri pada bahunya. Setelah dilihat pada gambaran radiologi tampak gambaran overlapping sign. Bagaimana tata laksana kondisi tersebut?”

“Dislokasi anterior bahu,” jawab Mas Fian dengan tenang. “Kemungkinan besar karena dislokasi anterior bahu harus segera direposisi maka jawaban untuk tata laksana adalah reposisi menggunakan hippocratic maneuver.”

Juri tersenyum. “Jawaban benar. Silahkan lanjut ke garis finish.”

Awalnya aku bingung dan melihat kesana kemari mengira bahwa permainan tidak akan selesai secepat ini dan mengira harus mengerjakan satu lagi paket soal. Akan tetapi, ternyata, mas Mas Fian langsung menarikku dan mengatakan bahwa kita telah berhasil menyelesaikan seluruh pos dan saatnya langsung berlari menuju pitstop atau finish line.

Garis Finis: Momen Kemenangan

Kami berlari sekuat tenaga, napas tersengal-sengal, otot-otot terasa terbakar, tetapi semangat kami tidak surut. Lalu kemudian, itu terjadi.

Kami melewati garis finis.

Tidak ada tim lain di depan kami.

Kami adalah yang pertama.

Kami adalah satu-satunya tim yang berhasil menyelesaikan seluruh tantangan dan menutup perjalanan ini sebagai JUARA 1 AORTA 2025.

Aku menutup mataku sejenak, membiarkan euforia membanjiri setiap sel tubuhku. Semua latihan, strategi, dan kerja keras selama ini telah terbayar lunas. Perjalanan panjang ini telah sampai pada akhirnya. Tidak ada lagi pertanyaan yang belum terjawab. Tidak ada lagi penyesalan dari masa lalu.

Kami telah menang.

Dan kisah balas dendam ini, akhirnya, telah tertuntaskan.

Akhir Cerita: Pesan yang Mengudara

Aku menutup mata sejenak, membiarkan napas teratur memenuhi paru-paruku. Dalam keheningan ini, aku menyadari satu hal—perjalanan ini bukan hanya tentang kemenangan. Lebih dari itu, ini tentang pembuktian pada diri sendiri, bahwa tak ada usaha yang sia-sia, bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, selalu membawa kita lebih dekat pada impian.

Kegagalan pernah menjadi bagian dari kisahku, seperti halnya mungkin juga menjadi bagian dari kisahmu. Tapi lihatlah, bukan kegagalan yang menentukan siapa kita, melainkan bagaimana kita memilih untuk bangkit darinya.

Aku ingin kau yang membaca ini mengingat satu hal: Tidak ada jalan pintas menuju keberhasilan. Tidak ada kemenangan tanpa pengorbanan. Akan ada hari-hari di mana kau ingin menyerah, saat rasa lelah dan ragu menggantung di bahumu, menahan langkahmu. Tapi percayalah, selama kau tetap melangkah, kau tidak akan pernah benar-benar kalah.

Hidup ini adalah serangkaian perjuangan, dan setiap orang memiliki medan perangnya masing-masing. Aku tidak tahu apa yang sedang kau hadapi saat ini—mungkin sebuah mimpi yang terasa terlalu jauh, mungkin ketakutan akan kegagalan, atau mungkin kau tengah berdiri di persimpangan, bertanya-tanya apakah semua ini sepadan. Tapi satu hal yang pasti: Jika kau masih memiliki keberanian untuk mencoba, maka kau sudah selangkah lebih dekat pada impianmu.

Jangan biarkan ketakutan menghentikanmu. Jangan biarkan satu kekalahan merenggut seluruh harapanmu. Dan jangan pernah berhenti percaya bahwa kerja kerasmu, meski mungkin tak langsung berbuah hari ini, akan membawamu menuju sesuatu yang lebih besar di masa depan.

Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa cepat kau sampai, melainkan tentang bagaimana kau bertahan, bagaimana kau terus berjuang, dan bagaimana kau membuktikan pada dunia—dan lebih dari itu, pada dirimu sendiri—bahwa kau mampu. Biarkan kisahku tentang AORTA 2025 ini menjadi bukti nyata akan hal itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published.