Oleh: Deva Fitra Firdausa Anwar
Langkah Pertama Menuju Pembuktian
Angin pagi di Kota Bogor berhembus pelan, membawa aroma tanah basah yang khas. Hujan semalam masih menyisakan embun di dedaunan, menciptakan suasana yang menenangkan—tetapi tidak dengan pikiranku. Januari belum benar-benar berlalu, tetapi aku sudah melangkah jauh ke bulan Februari. Liburan semester kali ini terasa berbeda, bukan seperti jeda panjang yang menenangkan, melainkan seperti persiapan sebelum perang.
Ada sesuatu yang belum selesai, sebuah kisah yang harus kutuntaskan—AORTA 2025.
Aku masih ingat hari itu, 26 Januari 2025, ketika aku duduk sendirian di sebuah ruangan sunyi di tengah riuhnya Kota Hujan. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa—suara kendaraan berlalu-lalang, orang-orang bercengkrama di kedai kopi, hujan turun dan reda sesukanya. Tapi di dalam ruangan itu, duniaku terasa lebih kecil, hanya berisi aku, layar komputer, dan 100 soal penyisihan yang menunggu untuk ditaklukkan.
Di depan layar, tanganku mengepal. Soal-soal ini bukan sekadar kumpulan angka dan kata. Mereka adalah gerbang pertama menuju final, langkah awal untuk menebus sesuatu yang masih tertinggal di masa lalu. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tidak ada ruang untuk keraguan.
Aku mengingat kembali semua yang telah aku pelajari bersama Mas Fian selama berbulan-bulan. Setiap diskusi panjang hingga larut malam, setiap strategi yang kami rancang, setiap latihan yang kami jalani—semuanya mengarah pada momen ini. Kami telah berjanji—kali ini, kami tidak akan pulang dengan tangan hampa.
Aku menekan tombol “Mulai” dan membiarkan pikiranku bekerja.
Pengumuman Hasil: Sebuah Awal, Bukan Akhir
Ketika hasil diumumkan keesokan harinya, dadaku berdebar kencang. Aku menatap layar komputer dengan napas tertahan, jari-jari tanganku mengepal tanpa sadar. Deretan angka yang tertulis di sana seakan menari di mataku.
520 poin.
Skor tertinggi.
Aku tidak langsung bersorak. Aku hanya duduk diam beberapa detik, membiarkan angka itu meresap ke dalam pikiranku. Lalu, perlahan-lahan, perasaan itu datang—kelegaan, kebanggaan, dan adrenalin yang menyala-nyala. Seakan ada api yang baru saja dinyalakan dalam dadaku, membakar lebih besar dari sebelumnya.
Aku segera menghubungi Mas Fian.
“Mas, kita lolos! Skor kita yang tertinggi!” seruku, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kulihat.
Di ujung telepon, aku bisa mendengar senyumannya. “Bagus. Tapi ini baru awal.”
Aku mengangguk, meski dia tidak bisa melihatnya. Ini memang baru awal.
Menjadi yang terbaik di penyisihan bukan hanya sebuah kebanggaan, tetapi juga tanggung jawab yang lebih besar. Jika babak penyisihan adalah gerbang, maka babak berikutnya adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Kami tidak bisa berpuas diri. Kami harus lebih siap, lebih kuat, lebih matang dalam strategi.
Sejak saat itu, setiap detik setelah pengumuman menjadi waktu yang berharga. Kami mengubah jadwal latihan, memperbanyak simulasi soal, menganalisis pola pertanyaan dari tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Kami harus memastikan bahwa tidak ada celah sedikit pun yang bisa membuat kami tergelincir.
Malam-Malam yang Panjang: Mengukir Sejarah
Setiap malam sebelum tidur, aku membayangkan satu hal: berdiri di podium kemenangan.
Aku membayangkan suara tepuk tangan, senyum bangga dari dosen-dosen kami, dan perasaan legitimasi—bahwa kami telah membuktikan sesuatu yang selama ini hanya menjadi mimpi. Bayangan itu bukan sekadar angan-angan kosong. Ia menjadi bahan bakar yang membakar semangat kami, membuat kami terus maju, terus berjuang, terus menggali lebih dalam.
Aku dan Mas Fian tahu, kami tidak hanya ingin menang—kami ingin mencatat sejarah.
Hari demi hari berlalu, dan tanpa terasa, Februari sudah di depan mata. Aku tahu, waktu kami semakin sedikit. Tapi justru di sanalah api dalam diri kami semakin membesar.
Kami siap.
Kami akan berangkat ke Makassar.
Dan di sana, kami akan berjuang.
21 Februari 2025 – Awal Perjalanan Menuju Pembuktian
Pagi itu, Jumat, Surabaya masih sibuk seperti biasanya. Langit masih samar-samar diterangi cahaya mentari yang baru saja muncul di ufuk timur, sementara jalanan dipenuhi klakson kendaraan yang bersahutan, menciptakan irama khas kota besar. Aku menatap keluar jendela taksi daring yang melaju menuju Bandara Juanda, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang dengan tergesa, seolah masing-masing memiliki misi penting yang harus segera dituntaskan.
Di dalam mobil, suasana terasa hening. Aku, Mas Fian, dan delegasi lain dari FK Unair duduk dalam diam, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri. Ada sesuatu yang terasa berbeda kali ini—bukan hanya sekadar perjalanan biasa, melainkan sebuah perjalanan menuju medan pertempuran, sebuah ujian di mana hanya yang terbaik yang akan bertahan.
Aku menggenggam tali tas yang ada di pangkuanku, merasakan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Perasaan itu aneh—kombinasi antara gugup, bersemangat, dan sedikit cemas. Aku tahu, perjalanan ini akan lebih sulit daripada yang sebelumnya. Jika tahun lalu kami hanya bisa pulang dengan membawa pengalaman, maka tahun ini, kami harus pulang dengan kemenangan.
Penerbangan Menuju Makassar
Kami tiba di bandara lebih awal. Setelah melakukan check-in dan melewati pemeriksaan keamanan, kami menemukan tempat duduk di ruang tunggu. Aku melihat sekeliling, memperhatikan wajah-wajah rekan setim yang tampak sama tegangnya. Beberapa dari mereka mencoba mengalihkan perhatian dengan berbincang ringan, sementara yang lain sibuk memeriksa kembali catatan mereka—mungkin mengulang materi yang bisa saja muncul dalam perlombaan nanti.
Aku menatap layar ponselku, membaca kembali pesan dari orang-orang terdekat yang memberi semangat. Aku tersenyum kecil. Mereka percaya padaku. Aku harus percaya pada diriku sendiri.
Tak lama kemudian, suara pengumuman di bandara memecah lamunanku. Panggilan boarding untuk penerbangan kami telah diumumkan. Dengan membawa serta rasa optimisme dan tekad yang semakin membara, kami pun berjalan menuju pesawat yang akan membawa kami ke Makassar—tanah di mana perjuangan Ayam Jantan dari Timur telah menempa banyak pemenang.
Selama penerbangan, aku mencoba tidur sejenak, tetapi pikiranku terus berputar. Aku memikirkan strategi, mengingat kembali materi yang telah kupelajari, dan membayangkan bagaimana rasanya berdiri di podium kemenangan. Di sisi lain, Mas Fian tetap terjaga, sibuk membaca catatan medis yang ia bawa. Aku tahu, dia juga sama seriusnya dengan perlombaan ini.
Hampir dua jam di udara, akhirnya pesawat kami mendarat dengan mulus di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Aku menarik napas panjang saat turun dari pesawat. Udara disini terasa sedikit lebih lembap dibandingkan di Surabaya, tapi ada sesuatu yang lain—sebuah energi baru, sebuah panggilan untuk bertarung.
Tiba di Makassar: Menyusun Strategi
Begitu keluar dari bandara, kami disambut oleh panitia lomba yang telah menyiapkan kendaraan untuk membawa kami ke hotel. Dua mobil telah menunggu, dan kami segera masuk ke dalamnya. Sepanjang perjalanan menuju hotel, aku mengamati kehidupan Kota Makassar yang bergerak dinamis. Jalanan ramai, dipenuhi oleh kendaraan yang melaju cepat dan para pedagang kaki lima yang menawarkan dagangannya di tepi trotoar. Ada sesuatu yang khas dari kota ini—sesuatu yang membuatku merasa bahwa aku telah tiba di tempat di mana kisah besar akan segera dimulai.
Setibanya di hotel, kami tak langsung beristirahat. Waktu terus berjalan, dan kami tak bisa membuangnya begitu saja. Tanpa membuang waktu, kami segera menuju auditorium untuk menghadiri technical meeting—tahap persiapan terakhir sebelum perlombaan dimulai.
Di dalam ruangan itu, puluhan peserta dari berbagai universitas di seluruh Indonesia telah berkumpul. Wajah-wajah penuh semangat memenuhi ruangan, masing-masing membawa harapan dan ambisi yang sama. Aku mendengarkan setiap instruksi dengan saksama, mencoba menangkap setiap detail yang mungkin berguna bagi kami nanti.
Setelah sesi pengarahan selesai, kami kembali ke hotel. Malam telah menyelimuti Makassar, tetapi pikiranku masih penuh dengan strategi dan persiapan. Kami, tiga tim delegasi FK Unair, memutuskan untuk berkumpul di kamarku dan Mas Fian.
Di dalam kamar yang terasa lebih sempit dari biasanya, kami duduk melingkar, membahas segala kemungkinan yang akan kami hadapi besok. Bagaimana jika ada soal kasus yang sulit? Bagaimana cara kami membagi tugas dengan lebih efisien? Semua skenario dipertimbangkan dengan matang. Kami ingin memastikan bahwa kami datang dengan persiapan terbaik.
Malam itu terasa sunyi. Hanya ada suara lembaran kertas yang dibuka, suara diskusi yang semakin lama semakin pelan, hingga akhirnya kelelahan mulai merayap di tubuh kami. Aku melirik jam di ponsel—sudah hampir tengah malam.
“Kita istirahat saja, ya? Besok harus fresh,” ucap Mas Fian akhirnya.
Aku mengangguk. Kami semua tahu, tidak ada gunanya memaksakan diri terlalu keras. Besok akan menjadi hari yang panjang, dan kami butuh stamina yang prima.
Sebelum tidur, aku menarik napas dalam-dalam. Esok adalah hari penentuan.
Di Makassar ini, kami akan bertarung.
Dan kami akan memastikan bahwa kami bukan hanya sekadar peserta—melainkan, calon juara.
Leave a Reply