Oleh: Cindy Aulya
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga terus mengalami kenaikan ranking hingga masuk
ke dalam jajaran Fakultas Kedokteran terbaik di tingkat dunia maupun domestik. Salah satu
indikator dalam kenaikan ranking menurut QS World University Ranking 2024 adalah
employer reputations, yang dinilai berdasarkan banyaknya lulusan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga yang berhasil berkarya dan memberi manfaat kepada masyarakat.
Namun, menyandang gelar sebagai dokter tidak semudah yang dibayangkan. Nyatanya,
proses pendidikan tersebut harus diselesaikan dalam kurun waktu yang cukup lama. Dalam
program sarjana, mahasiswa kedokteran harus menyelesaikan pendidikan dalam kurun waktu
3,5 hingga 4 tahun. Kemudian mereka harus menempuh program profesi sebagai koas, yang
dilakukan di rumah sakit dalam kurun waktu 1,5 hingga 2 tahun. Setelah menjalani program
profesi, seorang dokter muda harus melalui tahap Ujian Kompetensi Dokter Indonesia
(UKDI). Dalam program ini, seorang dokter akan menjadi dokter umum terlebih dahulu. Di
mana, dokter umum yang ingin mengambil program spesialis harus menghabiskan waktu
untuk sekolah spesialis, mulai dari empat hingga enam tahun melalui Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS).
Program di Indonesia ini disebut PPDS University Based Residency, dimana penyelenggara utama PPDS adalah pihak universitas. Melalui Fakultas Kedokteran, universitas melakukan seleksi penerimaan, pendidikan dan pemberian gelar
spesialis. Hingga saat ini, terdapat program pendidikan dokter baru yang telah diresmikan
oleh Pemerintahan Indonesia dan menimbulkan cukup banyak pro-kontra di kalangan dokter.
Kali ini, program pendidikan apa yang dibuat oleh pemerintahan Indonesia? Lalu, apa tujuannya?
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi), resmi meluncurkan Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan atau Hospital Based Residency
pada Senin, 6 Mei 2024 di RSAB Harapan Kita, Jakarta, Jawa Barat. Program Pendidikan
yang diharapkan sebagai solusi, nyatanya memicu banyak pro-kontra termasuk mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. PPDS Hospital Based Residency bertujuan untuk
memeratakan distribusi dokter spesialis yang ada di Indonesia. Lantas mengapa timbul
pro-kontra? Apakah pemerintahan kali ini membuat strategi untuk Indonesia menuju new era
atau malah sebaliknya?
Sebenarnya, apa sih PPDS University Based Residency dan Hospital Based Residency
itu? Apa bedanya?
PPDS University Based Residency dan Hospital Based Residency adalah program pendidikan
bagi para calon dokter spesialis. Hal yang mendasari perbedaan keduanya adalah tempat
menempuh pendidikan, biaya yang dikeluarkan selama menempuh pendidikan, dan peluang
kerja setelah lulus. Pendidikan dokter spesialis di perguruan tinggi disebut University Based
Residency, sementara PPDS di rumah sakit disebut Hospital Based Residency.
PPDS University Based Residency biasanya perlu menempuh waktu selama 3-6 tahun dan
tentunya menghabiskan biaya besar hingga ratusan juta. Sedangkan, skema Hospital Based
Residency yang dibentuk pemerintah Indonesia disebut-sebut tidak mengeluarkan biaya, dan
justru, para calon dokter spesialis akan mendapat benefit berupa gaji bulanan atau uang saku.
PPDS University Based Residency memiliki fleksibilitas untuk memilih tempat kerja setelah
lulus, dapat bekerja di rumah sakit, klinik, swasta atau membuka praktik sendiri. Sedangkan,
PPDS Hospital Based Residency memiliki kontrak kerja untuk bekerja di rumah sakit yang
telah ditentukan. Para dokter spesialis Hospital Based Residency tidak memiliki fleksibilitas
untuk memilih tempat kerja seperti University Based Residency.
Solusi dari mahalnya biaya PPDS University Based Residency..
Kurangnya dokter spesialis di Indonesia disebut-sebut karena mahalnya Program Pendidikan
Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Universitas atau University Based Residency. Dengan
adanya PPDS Hospital Based Residency ini, kita tidak perlu membayar dan akan
mendapatkan benefit berupa gaji. Beberapa mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga setuju dengan PPDS ini karena merupakan satu dari solusi untuk menekan biaya
hidup dan pendidikan bagi para dokter spesialis. Tidak hanya itu, PPDS Hospital Based
Residency juga sesuai bagi dokter spesialis yang memang ingin mengabdikan diri dan
ditempatkan daerah mana saja termasuk Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK).
PPDS Hospital Based Residency tidak hanya untuk kita yang sedang menempuh program
PPDS, tetapi juga untuk para dokter yang kurang mampu dan kurang koneksi sehingga
mereka bisa menempuh pendidikan dokter spesialis. Hal ini juga dapat berguna untuk masa
depan, anak cucu kita yang mungkin ingin menjadi dokter tetapi anggaran terbatas. PPDS
Hospital Based Residency juga bertujuan agar masyarakat kita punya akses yang lebih baik
terhadap tenaga ahli di daerahnya.
Fasilitas Kesehatan dan Sumber Daya di rumah sakit DTPK yang tidak memadai dan
sangat terbatas..
“Aku belum bisa bayangin apa yang bisa dilakukan di RS pelosok yang bahkan gak ada
EKG”. Sebagian besar kontra dari adanya PPDS Hospital Based Residency ini adalah karena
fasilitas dan sumber daya rumah sakit yang tidak memadai di berbagai daerah. Selama
menempuh PPDS Hospital Based Residency, Rumah Sakit Pendidikan sebagai Penyelenggara
Utama (RSP-PU) sudah memiliki fasilitas, sumber daya, dan pengajar yang ahli dan lengkap.
Namun, yang dikhawatirkan dari program ini adalah kontrak yang terikat setelah lulus.
Prioritas lokasi daerah pengabdian PPDS Hospital Based Residency mengutamakan Daerah
Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) yaitu luar Jawa. Melihat keuntungan yang
didapatkan dari PPDS Hospital Based Residency, sebagian mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga masih mempertimbangkan untuk mau atau tidak jika ditempatkan di
tempat pedalaman. Hal ini mengingat masih banyak dokter spesialis yang mengabdi di daerah pelosok dan tidak bisa melakukan tindakan operasi karena sumber daya, fasilitas kesehatan, sarana pendukung hingga akses yang terbatas.
Apakah PPDS University Based Residency sudah dapat mengatasi pemerataan dokter
spesialis di Indonesia dan efektif untuk menghasilkan dokter spesialis yang berkualitas
dan kompeten?
Berdasarkan survey yang kami lakukan terhadap 3 angkatan termuda dan koas Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga, mayoritas mahasiswa berpendapat bahwa PPDS
University Based Residency ini sudah efektif untuk menghasilkan dokter spesialis yang
berkualitas dan kompeten, tetapi belum bisa mengatasi pemerataan dokter spesialis di
Indonesia. Di mana program ini memiliki kualitas dari pendidik dan lingkungan yang bagus
dengan biaya sangat mahal.
Tidak memperbaiki program yang sudah ada..
“Mengapa tidak fokus di salah satu program saja? Mengapa harus menyelesaikannya dengan
membuat program pendidikan baru yang belum tentu berhasil?”. Tentu, begitu banyak
pertanyaan muncul di benak kita ketika peresmian PPDS Hospital Based Residency ini
diluncurkan. Beberapa dari mahasiswa menyampaikan, bahwa sebenarnya alasan kurang
meratanya dokter spesialis adalah karena mahalnya biaya pendidikan spesialis. Jadi, untuk
ke depannya, pemerintah bisa fokus ke salah satu program saja agar lebih optimal, seperti
membuat PPDS University Based Residency lebih merata di luar Jawa, menghapus sistem
limit mendaftar jurusan PPDS, contoh spesialis obgyn hanya boleh mendaftar dalam 3 kali
kesempatan saja dan lain sebagainya. Di mana program pendidikan baru, selain
memunculkan keuntungan, ditakutkan akan menimbulkan masalah baru di masa depan.
Prof. Budi Santoso Dekan FK Unair mendukung PPDS Hospital Based Residency..
Berdasarkan artikel dengan judul “Dekan FK UNAIR Beri Sikap Mengenai Peresmian PPDS
Berbasis Rumah Sakit yang Diresmikan Jokowi” yang di publish pada blog
https://fk.unair.ac.id tanggal 17 Maret 2024, Dekan FK Unair Prof. Dr. Budi Santoso SpOG,
dr., Subsp. F.E R mengatakan, pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit atau Hospital
Based Residency harus dilaksanakan sebagai bagian menjalankan undang-undang. Tidak hanya itu, menurut Prof Budi sebagai perguruan tinggi, pihaknya siap mendukung PPDS
Hospital Based Residency karena rumah sakit tidak bisa berjalan sendiri tanpa bekerja sama
dengan fakultas kedokteran yang berwenang mengeluarkan ijazah. Prof Budi juga
mengatakan bahwa program PPDS Hospital Based Residency harus sama kualitasnya dengan
PPDS University Based Residency. Terutama dalam hal perkuliahan sehingga bisa
menghasilkan dokter spesialis yang berkualitas pula.
PPDS Hospital Based Residency vs University Based Residency, program mana yang
lebih disukai dan sesuai dengan kriteria spesialis yang diminati mahasiswa FK UNAIR?
Berdasarkan survey yang kami lakukan mayoritas mahasiswa memilih kedua program
tersebut, yaitu PPDS University Based Residency dan PPDS Hospital Based Residency
sebagai program yang sesuai dengan kriteria spesialis yang diminati. Sedangkan jika bisa
memilih, mayoritas mahasiswa FK UNAIR, memilih PPDS Hospital Based Residency untuk
program yang lebih disukai. Selain program tanpa biaya dan mendapatkan gaji, mereka
berpendapat bahwa dengan PPDS Hospital Based Residency, mereka dapat merasakan dunia
Rumah Sakit yang lebih nyata dan memberikan pengalaman yang lebih konkret.
Solusi dalam menghadapi pro-kontra PPDS Hospital Based Residency dan University
Based Residency.
Dari berbagai pro dan kontra PPDS Hospital Based Residency dan University Based
Residency, sebenarnya permasalahan ini bukan hanya terjadi karena tidak meratanya dokter
spesialis, tetapi sebaran kesejahteraan yang meliputi fasilitas kesehatan dan sarana
pendukung yang tidak merata. Jadi, bukan hanya dengan memperbanyak dokter spesialis,
tetapi pemerintah dapat berusaha untuk meratakan kesejahteraan kesehatan termasuk fasilitas
dan sarana prasarana kesehatan. Sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga juga calon dokter spesialis di masa depan, saya lebih memilih untuk menjadi tim
netral dengan melihat apakah PPDS Hospital Based Residency dengan seiring berjalannya
waktu, dapat membawa Indonesia menuju new era atau dark era. Selain itu, sebagai
mahasiswa FK yang akan menjadikan program PPDS sebagai salah satu opsi untuk langkah
masa depannya, kita harus ikut andil dalam pengawasan program-program pendidikan yang
sudah ada ataupun yang baru. Jadi, sudahkah kalian berkontribusi dalam keputusan ini?
Leave a Reply