Tolak Naturalisasi Dokter Asing ke Indonesia Berujung Pemecatan Dekan Kami

Tolak Naturalisasi Dokter Asing ke Indonesia Berujung Pemecatan Dekan Kami

Oleh: Cendra Ratusunset

Beropini dan berpendapat adalah kebebasan di negeri ini, tapi siapa sangka, pemecatan menjadi imbas dari keberanian bersuara dekan kami.

Pasti kalian semua tidak asing dengan kata impor, tentu saja, sebagai orang Indonesia barang impor adalah hal yang lazim, mulai dari panci, beras, bahkan kali ini Indonesia tidak segan dalam mengimpor dokter. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengusulkan adanya Naturalisasi dokter asing ke indonesia, dengan memperbolehkan dokter asing untuk datang dan bekerja di Indonesia. Dengan alasan utama untuk melakukan transfer ilmu agar kualitas dokter Indonesia membaik dan menjadi hebat untuk menyambut Indonesia Emas 2045. Tidak hanya itu, banyak kalimat manis yang dibayangkan oleh bapak menteri kesehatan kita untuk realisasi naturalisasi ini, karena yang pahit adalah pemecatan dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga karena beliau tidak setuju dengan naturalisasi. Sebelum kita masuk ke kronologi, mari membicarakan sebenarnya apa sih tujuan dari kebijakan ini?

Pada wawancara menteri kesehatan dengan kompas TV, Bapak Budi Gunadi Sadikin mengatakan bahwa dokter di Indonesia tidak merata. Dengan fakta, pada daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar) sangat kekurangan dokter, dan menurut beliau naturalisasi adalah kunci dari kurang meratanya dokter daerah 3T dengan dokter asing akan mau bekerja di daerah 3T. Mari kita bedah apa saja faktor dokter tidak ingin bekerja di 3T, jawabannya 1, kami manusia. Tuntutan dokter harus mengabdi dan tidak memikirkan uang adalah stigma warga Indonesia yang menganggap dokter adalah keturunan dewa tanpa kebutuhan. Biaya yang dokter keluarkan dari dia masuk sampai mendapat gelar dokter adalah biaya yang besar, dan tentu saja yang lebih berharga dari segalanya adalah waktu yang dokter habiskan untuk meraih itu. Tidak salah jika saat lulus, ada keinginan untuk bekerja di tempat yang akan membayar dokter dengan pantas. Kami manusia, kami ingin hidup di kota yang aman, tidak ada ancaman. Kami manusia, kami ingin dekat dengan keluarga dan kembali ke kota asal.

Alih-alih memanggil dokter asing, apa tidak terpikirkan untuk memperbaiki mekanisme, kualitas hidup dokter dan tenaga kesehatan di daerah 3T? Bukannya tenaga kesehatan ingin ingin dispesialkan, tapi bukankah itu hal yang bisa mereka dapatkan di kota besar tapi tidak dengan daerah terpencil? Berikan kami fasilitas yang layak untuk melakukan praktek di daerah terpencil agar ilmu yang tenaga kesehatan pelajari bisa diaplikasikan secara maksimal, betapa menderitanya seseorang yang sudah belajar sepanjang masa mudanya, malah tidak bisa mempraktikkan dengan luas di pelayanan kesehatan. Kalau berkaca pada Amerika, negara ini tidak menuntut seorang dokter untuk mengabdi melainkan memberikan insentif dan penghargaan yang besar bagi dokter yang bekerja di rural area, bahkan data menyebutkan bahwa penghasilan dokter di daerah terpencil itu 10% lebih tinggi dari dokter yang bekerja di kota.

Sekarang pertanyaannya, apakah dokter asing mau untuk bekerja di bagian 3T Indonesia dengan segala aspek yang sudah kita pertimbangkan di atas? Rasanya tidak masuk akal.

Naturalisasi juga memiliki tujuan untuk melakukan transfer ilmu. Nah, untuk ini sebenarnya saya sangat setuju. Memang benar, jika dibandingkan dokter luar negeri khususnya negara maju yang kualitas kampus, fasilitas negara, dan pendidikannya lebih bagus, pasti dokternya juga lebih bagus. Saat dokter asing datang ke Indonesia, mereka bisa mengajari kita tentang penggunaan alat, alur kerja, dan masih banyak aspek lainnya. Salah satu fakta dan gerakan terdekat adalah mendatangkan dokter dari Arab Saudi untuk menyelamatkan 30 anak gangguan jantung warga Sumatera Utara karena biasanya pasien dari Sumatera dengan gangguan jantung kompleks yang butuh tindakan operasi harus datang ke Jakarta, alhasil memberatkan finansial keluarga pasien. Lalu, kenapa kementerian harus repot mendatangkan dokter asing kalau dokter di Jakarta bisa? Kenapa tidak mengarahkan langsung dari pemerintahan untuk datangkan dokter dari Jakarta? Kenapa tidak memaksimalkan potensi spesialis Indonesia dan seakan menganggap spesialis Indonesia tidak mampu?

Hal yang sama juga terjadi waktu saya SMA. Dulu, saya sering kali melakukan kegiatan transfer ilmu ini, bedanya dulu dinamai Studi Banding. Kita pergi ke SMA yang lebih bagus untuk mengambil ilmu atau kita mengundang SMA yang lebih bagus untuk memberikan ilmu tapi tidak pernah SMA saya membangun rumah untuk tempat tinggal SMA yang lebih bagus agar SMA bagus ini bisa mengajari SMA saya tanpa batas waktu.

Sebagus apapun tujuannya, segala kemungkinan bisa terjadi termasuk dengan kurangnya lapangan kerja dari dokter asli Indonesia, Prof. Dr. Budi Santoso, dr., Sp.O.G., subsp.F.E.R(K) memberikan pendapat terkait hal ini, beliau menyatakan bahwa dirinya dan fakultas kedokteran Universitas Airlangga secara tegas tidak setuju dengan naturalisasi ini pada tanggal 27 Juni 2024 saat diwawancarai oleh media detik.com. Pendapat intelektual beliau disambut positif oleh banyak rekan dalam dunia kesehatan khususnya warga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, karena beliau yakin tenaga medis Indonesia tidak kalah dengan dokter asing. Dan jika berbicara soal adanya kompetisi agar Dokter Indonesia tidak bermalas-malasan, sekarang ada 92 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia, lulusan setiap dari 92 fakultas ini akan berkompetisi untuk mendapatkan pekerjaan, kompetisi apa lagi yang diinginkan?

Kebebasan beropini dari Prof Bus (sapaan akrab dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga) memicu kemarahan Prof. Dr. M. Nasih, S.E., M.T., Ak., tokoh nomor 1 di universitas Airlangga yang menjabat sebagai Rektor. Pimpinan UNAIR memanggil Prof. Bus untuk bertemu dan dimintai keterangan terkait pendapat Prof yang fenomenal di media sosial pada tanggal 1 Juli 2024. Sepertinya, pertemuan ini tidak sampai pada satu jalan yang sama, sebagai pimpinan rektor, Prof. Nasih memberhentikan Prof. Budi Santoso sebagai dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga per tanggal 3 Juli 2024. Pemberhentian ini mengundang kemarahan warga Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Siapa yang tidak marah kalau dekan yang selalu menaruh FK UNAIR dihatinya, harus mengalami kejadian seperti ini karena menyuarakan pendapatnya?

Pemberhentian Dekan FK UNAIR diakui sebagai permasalahan internal dari pihak Universitas Airlangga. Mengutip dari pernyataan Prof. Nasih, Prof. Budi Santoso dinilai “melampaui kewenangan” dengan mengeluarkan pendapat berkaitan dengan pengelolaan praktik dokter di Indonesia mengatasnamakan institusi, karena pada peraturan dan undang-undang, UNAIR hanya bertugas dan memiliki wewenang untuk menyediakan dan menyiapkan lulusan dokter dan dokter spesialis.

Indonesia berdiri dengan hukum demokrasi, sebagai pemuda dan pemudi Indonesia, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga tidak diam saja melihat kabar yang bukan kabar burung lagi. Malam tanggal 3 Juli 2024, teman-teman FK UNAIR memulai pergerakan dengan menyebarkan kabar lewat media sosial seperti Whatsapp, Instagram, Twitter. Dilanjutkan dengan turun ke area Fakultas kedokteran UNAIR oleh hampir 500 alumni dan civitas akademika  FK UNAIR pada pukul 12.00, 4 Juli 2024, dengan memakai baju putih sebagai tanda berkabungnya kebebasan berpendapat.

Satu lagi pertanyaan saya, yang mungkin juga ditanyakan oleh civitas akademika di pertemuan siang 3 Juli, apakah perlu memecat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga hanya karena berbeda pendapat? Memang dalam pasal 33 ayat 1 statuta Universitas Airlangga dikatakan seorang rektor memiliki hak dan wewenang untuk memberhentikan pimpinan unsur pelaksana akademik, tetapi sepertinya lupa untuk membaca pasal 53 dari statuta yang sama tentang syarat pemberhentian dekan atau wakil dekan yang berisi 6 butir yaitu,

  1. Berakhir masa jabatannya;
  2. Meninggal dunia;
  3. Mengundurkan diri;
  4. Sakit yang menyebabkan tidak mampu bekerja secara permanen;
  5. Sedang studi lanjut; dan/atau
  6. Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan perbuatan yang diancam pidana penjara.

Kalau dari yang saya baca, tidak ada satupun syarat yang terpenuhi, atau mungkin yang dimaksud oleh syarat nomor 2, meninggal dunia, bukan wafat secara jasmani tetapi wafatnya hak asasi sebagai manusia untuk berbicara, berpendapat, dan beropini sesuai dengan pasal 28E ayat 2 UUD NKRI 1945. Mari kita berkabung sejenak. Tidak mungkin saya berani memfitnah bahwa keputusan pemecatan ini adalah tekanan dari Kementerian Kesehatan atau dari keputusan sepihak Rektor tercinta kita yang telah membawa Universitas Airlangga menjadi nomor 1 No Poverty di dunia. Tidak ada kemiskinan finansial, tapi kemiskinan keadilan masih ada sepertinya.

Mari tetap berjuang untuk menyelamatkan hukum Indonesia yaitu demokrasi, melakukan apa yang kita bisa, sesuai kata Dekan FK UNAIR, Prof. Bus, dahulukan hati nurani. Tidak akan saya sebut beliau sebagai Mantan Dekan sampai ada alasan yang jelas dan dapat diterima oleh seluruh civitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Semoga yang menjadi kekhawatiran kami tidak terjadi, sesuai dengan prediksi dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin yang mengatakan “Dokter asing mana sih ada yang stay sampai meninggal di Indonesia, ngga ada…”.Semoga itu bukanlah pikiran dari nenek moyang kami dulu, saat VOC datang.

Leave a Reply

Your email address will not be published.