oleh Garnis Latifah dan Muhammad Azkal
Pada pukul 14.00, rombongan demonstran terlihat berkumpul di titik aksi depan Gedung Grahadi, Surabaya. Mereka mengenakan pakaian serba hitam yang melambangkan perlawanan, duka, dan keberanian. Di antara kerumunan, tampak relawan medis dengan tanda lakban berbentuk salib merah di punggung mereka—sunyi tapi sigap, siap merawat luka jika keadaan memburuk.
Ini adalah ekspresi dari keresahan publik terhadap arah kebijakan negara yang dirasa menyimpang. Mereka membawa delapan tuntutan, yang semuanya berakar pada satu kekhawatiran besar: militerisme yang kian membatasi ruang sipil.
- Tolak Revisi UU TNI
- Tolak perluasan TNI di ranah sipil
- Tolak penambahan kewenangan TNI dalam ranah, operasi militer selain perang, terutama di ranah siber
- Bubarkan komando teritorial
- Tarik seluruh militer dari tanah Papua
- Kembalikan TNI ke barak
- Revisi UU Peradilan Militer untuk menghapus impunitas di tubuh TNI
- Copot TNI aktif dari jabatan sipil
Aksi berjalan damai, diawali dengan pembakaran ban dan naskah RUU TNI sebagai aksi simbolis. Sekitar pukul 16.30, suasana mulai memanas setelah satu demonstran melempar botol ke arah aparat dan diikuti dengan puluhan lemparan lainnya. Reaksi aparat tak menunggu lama. Water cannon menyembur, rantai besi digelar, dan jalan keluar ditutup pun dilakukan. Aparat menggelar rantai besi di sekitar demonstran menyebabkan mereka terjebak di dalam dan mengalami luka-luka saat mencoba keluar. Yang terperangkap di dalamnya bukan hanya massa aksi, tapi juga hak untuk menyampaikan pendapat secara bebas.
Pada pukul 16.45, aparat mulai memukul balik demonstran. Para demonstran yang terluka dibawa mundur dan dirawat di tempat yang berjauhan dari pusat aksi untuk menghindari kerusuhan lebih lanjut. Pukul 16.50, seorang demonstran terpaksa harus dibukakan jalan menuju ambulans karena mengalami luka cukup serius dan diikuti dengan rombongan FK Universitas Airlangga meninggalkan lokasi pada pukul 17.30.
Ironisnya, alih-alih mengamankan situasi, aparat justru memukul mundur massa dengan kekerasan sampai pukul 18.00. Bukan hanya dengan tangan, tapi juga dengan sepatu dan alat represi lainnya. Sekitar 25 orang ditangkap malam itu, 23 diantaranya dibawa ke Polrestabes Surabaya. Hingga pukul 02.30 dini hari, mereka baru dibebaskan berkat intervensi dari YLBH dan Kontras Surabaya.
Kita harus bertanya, sampai kapan negara akan terus menganggap kritik sebagai musuh? Sampai kapan aparat dipakai sebagai alat represi, bukan pelindung? Dan sampai kapan wacana militerisme terus merayap ke kehidupan sipil, tanpa ada perlawanan yang cukup keras dari masyarakat?
Yang terjadi di depan Grahadi adalah refleksi dari krisis demokrasi yang tak boleh kita diamkan. Aksi ini bukan sekadar pembakaran ban atau teriakan orasi—ini adalah bentuk cinta pada republik yang menolak dikooptasi oleh kekuasaan bersenjata.
Dokumentasi:




Leave a Reply