Cemburu, Ya?

Cemburu, Ya?

Oleh: Crazyvaya

Jumat malam yang menyendu. Disusul raung tangis dan gelak tawa yang bercampur menyatu. Diiringi alunan lagu Red yang berputar-putar. Jatuh tidur, lelap, melenyap duka. Bahkan hingga sekadar makan aku lupa. Namun, tetap saja di dalam mimpi malam itu semuanya terasa menyakitkan.

Sabtu pagi masih sesak, masih ingin menangis, berharap ini semua mimpi. Masih enggan untuk menyuap nasi dan lauk yang mama buat. Memilih tidur mengurung diri dalam kamar. Rasanya hatiku penuh sesak. Ingin tidur, tidur, dan hanya tidur. Dalam waktu lama. Sangat lama. Lama sekali. Sebab aku tidak ingin memikirkan apapun yang aku lihat. Yang begitu mendidihkan darah di kepala.

Sabtu siang aku berencana kabur dari realitas. Lari dari wujud nyatanya dan segala pertanyaan dan pernyataan yang mungkin akan memenuhi atmosfer di sekeliling kita. Melangkah menjauh dari temu yang hanya membangkitkan sakit yang semu. Menyendiri, menikmati sepi, bersyukur bisa tertawa kecil sementara, bersyukur bisa kembali ingin makan …

Satu pesan. Satu pertanyaan retoris. Satu notifikasi yang membuatku runyam dan bingung. Harus ku apakan? Hingga pada akhirnya aku memilih untuk mengabaikan. Berjalan terus mencari pengobat temporal untuk hati yang memanas.

Tapi tapi dan tapi bayangannya selalu mengikutiku. Kemana pun. Mengajakku berbincang. Mengajakku mengingat. Mengajakku mengenang. Mengajakku bercerita.

Perih.

Hingga akhirnya, saat itu pukul 5 sore. Aku memberanikan diri untuk membalas pesannya. Bersiap dengan segala kemungkinan terburuk yang tersaji dalam kepala. Menahan getar tangis entah untuk keberapa kalinya.

“Itu kamu kan?”

“Hah? Bukan.”

“Masa?”

“Iya, bukan.”

Deg.

Degup jantungku melambat, ombaknya mengalun merendah, menenang, menggenang, tenang.

Ini semua hanya kesalahpahaman?

Isi pikiranku semuanya keliru dan tak nyata?

“Kamu kenapa ilang?”
Satu jawaban bohong.

“Aku tahu sesuatu.”
Apa?

“Kamu cemburu, ya?”
Tidak.

Bohong.
Iya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.