Satu Tahun Tanpa Tanda Tanya

Satu Tahun Tanpa Tanda Tanya

Oleh: Crazyvaya

Saat pertama kuucap iya dalam berbagai ambang ragu dan takut-takut itu, menelan segala resah meski kala itu masing-masing tangan kananku berkata jangan, aku sudah siap melangkah meski jaraknya kecil-kecil, secuil seperti orang terkena Parkinson’s disease. Entah bagaimana ceritanya, penolakan masif yang kuterima di suatu sore saat aku mahasiswa baru dan menyeru seduku itu membawaku menjadi manusia paling kalut dan siap sedia sembunyi dalam peluh carut-marut. Tetapi, segala reda-reda rintik kala itu bersedekap menunggu setiap jari-jemariku mengetikkan segala antusiasme dalam ribuan luka duka yang kucoba kalahkan dalam pikiran.

Terima kasih mungkin satu kata yang akan kuuntai dalam satu rantai yang tidak punya muara terakir. Akan selalu kugemakan dalam setiap gaung tanya yang menyelinap melewati pelupuk mataku. Mengalir lalu mengalir dalam setiap peluh dan air mata yang turun jatuh mengambang menembus segala rasuk suka duka yang menelisik menyusuri semua bagian kulitku. Entah harus berapa kali sampai aku puas berteriak berloncatan ringan riang dalam sayup angin sore-sore menjamu. Aku tidak mungkin jemu mengekspresikan betapa aku bahagia dalam sengat-sengat warna yang tidak semua kelabu.

Atas segala penerimaan, atas segala penghormatan, atas segala pengakuan … aku berdiri menjadi aku yang sibuk riang menari di bawah hujan. Manja-manja lah tidak peduli sebab akan selalu ada payung-payung kecil berserakan di atasku. Marah lelah lah tak apa sebab jas hujan akan dengan sendirinya terpasang di lenganku. Berbaik dan bermanis lah sebab tak apa tak ada rugi karena tawa mereka membahagiakanmu. Berisik lah sebab tak akan ada yang memarahimu justru penantian-penantian diksimu meramu. Berbahagia lah sebab segala sesuatu di sekitarmu pun juga berbahagia. Dan bersuka-ria lah karena rumahmu tidak pernah kemana-mana.

Untuk duka dan segala resahnya, surut-surut lah sebab langkahmu tidak pernah sesendirian itu. Sebab peluhmu tidak hanya jatuh satu. Sebab orang tidak akan membentak dan kasar padamu. Sebab halus lembut itu menyapu jiwamu. Sebab marahmu tidak pernah berlebihan menggaung. Sebab cintamu tidak disalahartikan jadi tamparanmu.

Aku akan berlarian melintasi ruang-ruang waktu mengambil setiap indah rinai bak tangan-tanganku menampung rintik hujan di malam hari dan menyerok embun di pagi hari.

Terima kasih.

— Untuk Nabiel

Atas segala rasa percaya dan kesabaran yang tidak berhenti begitu saja. Segala sebal-sebalku dan sebal-sebalmu semoga lestari menyenangkan seperti tarian katak di pagi hari bulan Desember di Surabaya.

— Untuk Shasa

Atas segala lembut dan sabarmu. Merangkulku dan segala gemuruh yang menyala di binar mataku. Bahagia yang kau tumpahkan ke jalan-jalan yang langkahmu pijak.

— Untuk Daffa

Atas segala kesabaran yang meski aku tahu kamu sangat ingin menggaruk mukaku ha-ha-ha.

— Untuk Ryan

Atas apapun yang terjadi di antara kita di mana pun itu.

— Untuk Langit

Atas segala siap sedia mengambil sibukku. Meracau sepanjang waktu. Dan segala yang kita bagi di malam menjelang pagi. Pertengkaran kecil yang berujung damai. Evaluasi yang berani di tiap kata.

— Untuk Vatih

Atas segala ocehanku memburu-burui Dokter Post.

— Untuk Abel

Atas segala sabar manismu yang menggemaskan.

Aku tidak tahu apakah aku cukup berani menyebarkan ini pada tiap-tiap tarikan napas yang memburuku. Sebab, binar mataku berpancaran seolah sudah meluapkan segalanya hanya dalam satu tarik kata.

Dengan cinta,

Farah. Yang suka hujan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.