Oleh: Cinguli
Pertanyaan ini terus terjamah di telingaku sedari Aku selalu membeli permen gula-gula
depan sekolah. Tidak sulit untuk menjawab pertanyaan yang terlontarkan oleh orang-orang
dewasa, seakan-akan itu hanya pertanyaan yang membuatku senang sebab Aku tahu betul
jawaban yang akan menjawab dengan tepat.
“Keren sekali laporan tugasmu, keren sekali kubaca impian yang ingin kamu capai.
Bolehkah Aku mengetahui alasan dari tajuk “Aku mau jadi Dokter Obgyn!” ini?” Tentu saja!
Pekerjaan ini keren sekali, mereka membantu masing-masing keluarga seorang anak yang
kelak kan menjadi orang yang baik. Begitu mudah berkata, berimajinasi dengan
angan-angan ruang bedah yang akan membuatku menangis kala melihat para Ibu setelah
berusaha kuat hingga hasil itu tiba di depannya, teraba nyata, terlihat begitu menakjubkan
untuk sepasang netranya.
Ketika Aku sudah beranjak dewasa. Pertanyaan itu sudah tak lagi memasuki terowongan
telingaku. Pertanyaan itu mungkin sudah basi. Aku sudah menjadi apa yang Aku
cita-citakan. Siapa bilang demikian?
Pernahkah kita bertanya kepada orang-orang dewasa itu, apa yang mereka cita-citakan
setelah kita menjawab cita-cita kita? Sayangnya, tidak. Dan Aku lebih dengan sadar, dengan
usiaku yang kini hendak menginjak 19 tahun. Tidak ada cita-cita, atau bahkan cita yang ingin
Aku raih seperti bagaimana dulu Aku ingin meraih mereka dengan semangat membara.
Euforia itu seperti sudah tidak pernah datang, atau mungkin masih dalam perjalanan seperti
kita yang selalu menunggu kedatangan kereta api 2 jam sebelum waktunya tiba. Mungkin
kereta itu datang bukan sebagai apa yang kita cita-citakan. Mungkin kereta itu tiba sebagai
kendaraan yang akan membawa kita ke apa yang dicita-citakan. Mungkin saja bukan?
Mengapa tidak pernah terlintas pula di kepalaku. Alasan mengapa bayi yang baru saja lahir
menangis di depan orang tuanya? Apakah ia menyesal memutuskan untuk lahir ke dunia?
Apakah dunia tak seindah surga yang menjadi rumah ia selalu singgah? Apakah ia masih
mengingat dengan jelas atau samar garis takdir yang akan mereka hadapi tak seindah apa
yang diucapkan malaikat-malaikat itu?
Meski begitu, hidup tetap harus dijalani sebagaimana mestinya? Cita, cinta, dan asa
mungkin sudah terkubur dalam-dalam.
Kalau sudah besar, kamu mau jadi apa? Dalam cita, Aku mau jadi hal yang menurut Tuhan
mampu, itu sudah lebih cukup. Dalam cinta, Aku mau bahwa cinta itu datang untukku, juga
untuk orang sekitarku jika mampu. Dalam asa, Aku mau melanjutkan hidup, meski dengan
segala ruam-ruam yang berada di luar dan dalam tubuhku.
Leave a Reply