Fenomena Hilangnya Pulpen di Fakultas Kedokteran

Home / Puitika / Opini / Fenomena Hilangnya Pulpen di Fakultas Kedokteran
Fenomena Hilangnya Pulpen di Fakultas Kedokteran

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Oleh: Radfo

Tak ada misteri yang lebih tua dari pertanyaan, “Siapa yang terakhir meminjam pulpenku?” Di fakultas kedokteran—tempat logika dan bukti ilmiah jadi dewa—ada satu hal yang tak pernah bisa dijelaskan secara rasional: ke mana perginya semua pulpen?

Setiap awal semester, mahasiswa datang dengan semangat baru dan satu kotak isi dua belas pulpen. Dua minggu kemudian, mereka sudah menuliskan catatan dengan stilus, sementara di meja hanya tersisa satu pulpen yang separuhnya retak. Tak ada yang tahu nasib sebelas lainnya. Ada yang bilang dipinjam teman tapi tak pernah kembali; ada juga yang mengaku hilang begitu saja—lenyap di antara tumpukan kertas ujian dan form administrasi seperti pasien tanpa identitas di instalasi gawat darurat.

Padahal, di era iPad dan cloud storage, semua orang yakin pulpen sudah tidak relevan. “Aku udah paperless sekarang,” kata seseorang sambil mengetuk layar dengan bangga. Tapi anehnya, setiap kali ujian tulis, tanda tangan kehadiran, atau pengisian berkas penting, semua mata tiba-tiba menatap kosong dan bertanya serempak, “Ada yang punya pulpen?”

Momen kecil itu selalu sama: gelisah, panik, lalu tawa getir. Di antara ribuan perangkat digital yang menyala, justru benda paling sederhana yang paling dibutuhkan. Sebatang pulpen yang tak butuh sinyal, tak minta daya, tiba-tiba menjadi pusat perhatian—seolah menertawakan manusia yang terlalu yakin bisa hidup sepenuhnya tanpa tinta.

Pulpen, makhluk kecil yang dianggap usang, seolah sengaja menghilang untuk mengingatkan manusia bahwa kemajuan bukan berarti penghapusan. Kadang, yang sederhana memilih menjauh agar manusia belajar menghargainya lagi.

Beberapa mulai percaya, hilangnya pulpen adalah semacam ritual tak tertulis di fakultas kedokteran. Katanya, kalau pulpenmu hilang, artinya kamu sudah resmi jadi bagian dari mereka: manusia yang begitu sibuk menyembuhkan dunia, tapi tak bisa menyelamatkan barang sekecil alat tulis sendiri.

Dan di momen itulah, para mahasiswa sadar bahwa peradaban digital belum benar-benar siap menghadapi hal paling sederhana di dunia nyata: ketiadaan tinta. Pulpen, makhluk kecil yang mereka anggap usang, seolah menertawakan mereka dari dimensi lain—muncul hanya saat dibutuhkan, lalu menghilang lagi secepat mahasiswa selesai bimbingan.

Mungkin begitulah cara pulpen bertahan di zaman yang nyaris melupakannya: bukan dengan terus hadir, melainkan dengan absen yang menyadarkan. Karena di tengah layar yang terang, justru tinta yang hilang yang paling terasa keberadaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.