dr. Marwan al‑Sultan: Syuhada Penjaga Nadi dari Gaza

dr. Marwan al‑Sultan: Syuhada Penjaga Nadi dari Gaza

Oleh : Anindita Azkia Fauzana

Di tengah langit Gaza yang gelap oleh asap perang dan ledakan, sosok satu ini berdiri tegak membawa cahaya harapan bagi rakyat Palestina. Beliau bukan hanya dokter, bukan pula hanya direktur rumah sakit. Beliau adalah simbol keberanian, pengabdian, dan kemanusiaan yang tak pernah padam. Namanya adalah dr. Marwan al‑Sultan, seorang spesialis kardiologi yang menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Indonesia (RSI) di Jalur Gaza. RSI sendiri merupakan rumah sakit yang dibangun oleh rakyat Indonesia melalui MER‑C.

Lahir dan besar di Gaza, dr. Marwan tumbuh di tengah realitas pahit blokade dan penjajahan. Meskipun demikian, beliau tetap meniti pendidikan kedokteran dengan penuh semangat. Beliau menyelesaikan studi kedokteran umum di salah satu universitas terkemuka di Palestina, kemudian menempuh spesialisasi di bidang kardiologi intervensional. Keputusannya untuk mengambil bidang penyakit jantung bukan tanpa alasan, mengingat tingginya angka penyakit jantung di Gaza dihadapkan dengan fasilitas dan dokter spesialis yang sangat terbatas. Beliau menjelma menjadi salah satu dari dua dokter kardiolog senior terakhir di Gaza Utara, yang menjadikannya pilar penting dalam sistem kesehatan yang hampir runtuh akibat blokade dan serangan berkepanjangan.

Sejak 2016, dr. Marwan diamanahi memimpin RSI di Beit Lahiya, Gaza Utara. Rumah sakit ini menjadi pusat rujukan utama dan satu-satunya fasilitas medis besar di wilayah utara yang sering terisolasi. Dalam perannya, dr. Marwan bukan hanya sebagai manajer administrasi, melainkan juga seorang klinisi, pendidik, pemimpin tim medis internasional, sekaligus juru bicara informal bagi suara-suara yang tak terdengar dari Gaza. Beliau bekerja dalam tekanan yang luar biasa; kekurangan listrik, alat medis, obat-obatan, dan terus-menerus menghadapi ancaman serangan udara. Namun, beliau tak pernah meninggalkan posnya. Ketika tim medis asing pulang karena situasi memburuk, beliau tetap tinggal. Ketika peluang evakuasi terbuka, beliau menolak. Beliau memilih tetap bersama pasien dan keluarganya, di tanah yang beliau cintai.

Kisah hidupnya berakhir tragis namun heroik. Pada malam 2 Juli 2025, apartemen dr. Marwan di Tal al-Hawa, Gaza, dihantam serangan udara oleh Israel. Dalam serangan itu, beliau gugur bersama sang istri, dr. Dhikra Nimr al‑Sultan, dua anaknya, menantunya, dan saudara perempuannya. Putrinya menceritakan bahwa rudal menghantam langsung ke ruang tempat sang ayah berada, tanpa peringatan. Tidak ada waktu untuk menyelamatkan diri. Apartemen yang seharusnya menjadi tempat istirahat dan perlindungan, justru menjadi kuburan keluarga besar yang selama ini hidup dalam pengabdian.

Kematian dr. Marwan mengguncang dunia. Beliau menjadi tenaga medis ke-70 yang gugur hanya dalam 50 hari terakhir, dari total lebih dari 1.400 tenaga medis yang terbunuh sejak serangan besar-besaran Israel ke Gaza pada Oktober 2023. Kehilangan seorang kardiolog senior di Gaza, yang sangat langka, disebut oleh rekan-rekannya sebagai “bencana besar” bagi sistem kesehatan Palestina. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), MER‑C, ICRC, hingga organisasi kemanusiaan internasional lainnya mengecam pembunuhan ini sebagai pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional.

Meski bukan warga negara Indonesia, dr. Marwan sangat dicintai oleh rakyat Indonesia. Beliau memimpin RSI, rumah sakit hasil donasi dan solidaritas rakyat Indonesia dengan penuh dedikasi dan cinta. Pemerintah Indonesia menyampaikan duka cita mendalam dan mengecam serangan brutal itu, serta menegaskan kembali dukungan terhadap kemerdekaan dan keadilan bagi Palestina. Dalam catatan media, dr. Marwan dikenal bukan hanya karena keahliannya sebagai dokter, tetapi karena kerendahan hati, kepemimpinan, dan semangatnya memperjuangkan hak atas hidup yang bermartabat bagi warga Gaza.

Di tengah kegelapan perang, dr. Marwan al‑Sultan menyala sebagai lentera. Beliau adalah dokter yang tak gentar di garis depan, pemimpin rumah sakit yang tetap hadir meski bangunan runtuh di sekelilingnya, dan ayah keluarga yang memilih melindungi anak-anaknya hingga akhir. Warisan yang ia tinggalkan jauh lebih besar dari jasadnya, beliau telah menunjukkan pada dunia bahwa pengabdian sejati bukan soal apa yang kita miliki, tetapi soal apa yang kita rela korbankan demi sesama.

Kini, namanya abadi. Di ruang-ruang RSI, di ingatan pasien yang pernah ia tolong, di hati sejawat yang pernah ia bimbing, dan dalam doa jutaan orang yang menyaksikan bahwa masih ada cahaya di tengah reruntuhan Gaza. dr. Marwan al‑Sultan adalah syuhada kemanusiaan, dan perjuangannya akan terus menginspirasi generasi mendatang untuk melayani, melindungi, dan mencintai, meski dalam badai.

Di akhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sebuah pesan, “Satu nyawa dokter mungkin tidak bisa menyelamatkan dunia, tetapi satu dokter seperti dr. Marwan telah menyelamatkan kemanusiaan dari mati rasa.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.