Pembukaan PPDS-Hospital Based: Solusi yang Tepat untuk Memenuhi Kebutuhan Dokter Spesialis di Indonesia

Pembukaan PPDS-Hospital Based: Solusi yang Tepat untuk Memenuhi Kebutuhan Dokter Spesialis di Indonesia

Oleh: Ridha Shakila Wardah

Pada 6 Mei 2024 lalu, Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan (hospital-based) telah diresmikan di RSAB Harapan kita oleh Presiden Joko Widodo, didampingi Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Pada artikel ini akan dibahas mengenai penjelasan umum tentang PPDS hospital-based, urgensi pembukaan program tersebut, dan pendapat pakar/ahli.

Mengenal sistem PPDS-Hospital Based

PPDS hospital-based atau Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan merupakan salah satu program pendidikan dokter spesialis bagi para dokter umum yang ingin melanjutkan studinya ke jenjang spesialis. Pembukaan program ini merupakan implementasi dari UU Kesehatan Omnibus Law tahun 2023 yang secara umum membagi dua jenis program pendidikan spesialis, yaitu PPDS university-based dan PPDS hospital-based.  PPDS university-based adalah program pendidikan dokter spesialis yang diregulasi oleh universitas. Biasanya, untuk menyelesaikan program ini membutuhkan waktu 3–6 tahun bagi residen tergantung bidang spesialis yang dipelajari. Pada program ini, para residen membayar uang kuliah sebagaimana mahasiswa di universitas umumnya. Para calon residen diseleksi oleh fakultas kedokteran lalu residen akan melakukan kontrak perorangan dengan rumah sakit pendidikan yang dituju. Pada praktiknya, PPDS university-based ini tetap dilakukan di rumah sakit pendidikan. Berbeda dengan PPDS university-based, program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit pendidikan atau PPDS hospital-based diselenggarakan oleh rumah sakit sebagai penyelenggara utama dengan didukung oleh perguruan tinggi, kementerian yang terkait, serta kolegium bidang ilmu terkait (sebuah badan otonom dari perhimpunan dokter spesialis yang bertugas khusus mengampu pendidikan). Pada PPDS hospital-based, residen tidak mengeluarkan biaya pendidikan. Para residen justru diharapkan akan diberi upah oleh rumah sakit sebagai bagian dari proses pelayanan. Pada program ini, calon residen langsung melakukan kontrak dengan rumah sakit pendidikan yang dituju, tanpa melalui fakultas kedokteran terlebih dahulu. Namun, PPDS hospital-based ini tetap ada peran dari fakultas kedokteran sebagai penjaga mutu proses dan pengembangan pendidikannya. Persamaan kedua program pendidikan spesialis ini adalah diberlakukannya residen sebagai bukan mahasiswa biasa yang memiliki hak insentif dan kewajiban selayaknya seorang pekerja.

Urgensi pembukaan PPDS-Hospital Based

Terdapat dua permasalahan utama terkait dunia kedokteran di Indonesia saat ini, yaitu kurangnya jumlah dokter umum dan dokter spesialis di Indonesia dan tidak meratanya penyebaran dokter-dokter tersebut. Terkait dokter spesialis, Indonesia memiliki 49.679 dokter spesialis. Bappenas menargetkan rasio ideal dokter spesialis adalah 0,28 per 1000 penduduk. Maka dari itu, Indonesia masih kekurangan 29.179 dokter spesialis. Dengan jumlah 24 fakultas kedokteran penyelenggara pendidikan dokter spesialis dengan rata-rata 2.700 lulusan setiap tahun, Indonesia diperkirakan baru dapat memenuhi rasio ideal tersebut lebih dari 10 tahun mendatang. Oleh karena itu, dibukalah jalur PPDS hospital-based yang kemungkinan dapat diterapkan pada 420 rumah sakit dari 3.000 rumah sakit di Indonesia. Apabila PPDS hospital-based dan juga PPDS university-based berjalan beriringan, maka jumlah lulusan dokter spesialis setiap tahun dapat meningkat sehingga pemenuhan kekurangan jumlah dokter spesialis di Indonesia dapat teratasi lebih cepat dan tercapai pada kurun waktu 5 tahun mendatang. Selain itu, per April 2024, sebanyak 34 persen RSUD di Indonesia belum mencukupi 7 jenis dokter spesialis dasar, yaitu dokter spesialis anak, obgyn, bedah, penyakit dalam, anestesi, radiologi, dan patologi klinik. Untuk memenuhi jumlah jenis spesialis yang dibutuhkan, PPDS hospital-based diselenggarakan di berbagai rumah sakit dengan bidang spesialis berbeda. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, jumlah kuota penerimaan peserta PPDS hospital based Batch 1 sebanyak 38 orang. Selain RSAB Harapan Kita, terdapat 5 RS milik Kemenkes yang sudah ditunjuk sebagai RSP-PU Pilot atau percontohan untuk program studi dokter spesialis, yaitu RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita: program studi jantung (6 kuota), RS Ortopedi Soeharso: program studi orthopaedi dan traumatologi (10 kuota), RS Mata Cicendo: program studi mata (5 kuota), RS Pusat Otak Nasional: program studi saraf (5 kuota), serta RS Kanker Dharmais: program studi onkologi radiasi (6 kuota). Selain jumlah dokter spesialis, permasalahan lainnya adalah distribusi dokter spesialis. Dari 24 fakultas kedokteran penyelenggara pendidikan dokter spesialis, 50 persennya berada di Pulau Jawa. Hal ini tentu menyebabkan kesenjangan akses pelayanan dokter spesialis antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa yang dibuktikan dengan 59% dokter spesialis terkonsentrasi di Pulau Jawa. Berdasarkan data STR Pendidikan (PPDS) 2020-2024 aktif Konsil Kedokteran Indonesia Tahun 2024, dari total 15.523 PPDS aktif saat ini, 67 persen PPDS berasal dari Jawa dan Bali, sedangkan Indonesia bagian timur hanya menyumbang 1 persen, dan Kalimantan 2 persen. Dengan dibukanya PPDS hospital-based ini dapat mengurangi ketimpangan tersebut dengan memprioritaskan sasaran utama peserta program ini adalah calon residen dari Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK), baik PNS maupun non-PNS.

Pendapat pakar/ahli

Terdapat beberapa pertimbangan para ahli mengenai mekanisme penyelenggaraan PPDS hospital-based ini. Berikut ini adalah pendapat dari Prof. dr. Zainal Muttaqin Ph.D, Sp.BS. yang dikutip dari tulisannya di kumparan.com. Dalam praktiknya, seorang dokter memerlukan penguasaan ilmu yang komprehensif, tidak terbatas pada bidang kecil tertentu saja. Apabila diambil contoh, seorang pasien datang pada spesialis mata dengan keluhan awalnya adalah penglihatan yang kabur. Namun, diketahui kemudian pasien memiliki penyakit tumor otak. Calon dokter spesialis mata mesti memperoleh sebagian ilmu dan kompetensinya dari bagian ilmu saraf atau bedah saraf. Oleh karena itu, bentuk sistem pendidikan dengan basis pendekatan antar spesialisasi juga penting diperhatikan. Selain itu, pendidikan harus diberikan oleh seorang guru dengan tingkat penguasaan ilmunya 2 tingkat di atas peserta didik. Apabila diambil contoh pendidikan spesialis Ilmu Penyakit Dalam yang mempelajari berbagai organ diantaranya ginjal, jantung, dan kelenjar endokrin, masing-masing organ harus diberikan ilmunya oleh dokter Penyakit Dalam Konsultan atau Sub-Spesialis ginjal, demikian juga terkait jantung dan kelenjar endokrin. Ibarat pelamar lulusan SD tidak dapat mengajar siswa SD, karena syarat minimalnya harus lulusan PGSD/D1. Namun, jumlah dokter dengan sub-spesialis tersebut maupun tingkat lainnya yang setara tidak banyak di Indonesia. Selain itu, dengan berkembangnya ilmu kedokteran dengan amat pesat, para pengajar calon dokter spesialis harus memiliki kemampuan memahami konsep penelitian dan perkembangan ilmunya yang tentunya tidak didapat dengan hanya melakukan praktisi medis sehari-hari. Hal ini tentu memberikan keraguan apakah rumah sakit dapat menyelenggarakan PPDS dengan mutu yang setara dengan PPDS university-based. Namun, PPDS hospital-based mengklaim bahwa kurikulum yang digunakan setara dengan PPDS university-based karena melibatkan berbagai kolegium dan dipercaya bahwa lulusan program ini memiliki kualitas setara internasional. Saya, Ridha Shakila, sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Airlangga sekaligus penulis artikel ini, memiliki ketertarikan pada diskusi mengenai kebijakan program pendidikan dokter spesialis ini. Terkait ketimpangan kemampuan seorang praktisi untuk mengajar, mungkin dapat diatasi dengan mendatangkan ahli sub-spesialis dari luar negeri untuk melakukan pengajaran bagi para residen calon dokter spesialis, bukan untuk menggantikan praktik dokter spesialis yang sudah ada di Indonesia. Pada dasarnya, pembukaan jalur PPDS ini dilakukan untuk mengatasi permasalahan kesehatan yang ada di Indonesia. Pro-kontra pastinya ada untuk mengkritisi kebijakakan yang akan diterapkan supaya tidak melenceng dari tujuan utamanya.

 

Daftar Pustaka

ARSSI PUSAT. (2024, May 25). Webinar: Konsep Hospital Based dalam Penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran Spesialis/Subspesialis. YouTube. Retrieved June 18,2024, from https://www.youtube.com/watch?v=su1hVFF_xEc

Muttaqin, Z. (2023, July 16). Ancaman Masalah Setelah Disahkannya UU Kesehatan  Omnibus. Ancaman Masalah Setelah Disahkannya UU Kesehatan Omnibus. Retrieved June 18, 2024,from https://kumparan.com/zainalmuttaqin/ancaman-masalah-setelah-disahkannya -uu-kesehatan-omnibus-20noLb5OE4V/full

PERSI. (2024, May 7). 6 RS Ditunjuk Jalankan Program Studi Dokter Spesialis  University Based – PERSI. PERSI. Retrieved June 18, 2024, fromhttps://www.persi.or.id/6-rs-ditunjuk-jalankan-program-studi-dokter spesialis-university-based/

PERSI. (2024, May 10). PPDS Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Diluncurkan di  RSAB Harapan Kita, Kejar Kekurangan Jumlah dan Pemerataan Dokter Spesialis PERSI. PERSI. Retrieved June 18,2024,from https://www.persi.or.id/ppds-berbasis-rumah-sakit-pendidikan-diluncurkan-di-rsab-harapan-kita-kejar-kekurangan-jumlah-dan-pemerataan-dokter-spesialis/

Leave a Reply

Your email address will not be published.