Kontrasepsi, Penemuan Jenius atau Buah dari Diskriminasi?

Kontrasepsi, Penemuan Jenius atau Buah dari Diskriminasi?

Oleh: Calvin Constantine Yang

Setiap manusia memiliki kemampuan dan hasrat untuk berkembang biak dan melanjutkan keturunan. Itulah suatu natur yang tidak pernah lepas dari tiap individu, baik di masa dahulu, sekarang, maupun di masa depan. Hal ini yang membuat manusia melakukan kegiatan seksual (kopulasi). Akan tetapi, kehamilan tidak selamanya dipandang sebagai hal yang membawa kebahagiaan. Banyak kasus perempuan yang malah “tersiksa” akibat hamil diluar nikah, pasangan yang tidak peduli terhadap kehamilannya, masalah kesehatan yang kambuh kembali dan berbagai kasus yang menjadi sebuah diskriminasi luar biasa bagi perempuan di masa kehamilan yang seharusnya membutuhkan dukungan dan kasih sayang yang lebih tinggi. Hal ini menjadi awal mula perkembangan alat kontrasepsi yang jauh lebih pesat dari sebelumnya.

Alat kontrasepsi merupakan alat yang digunakan untuk mencegah terjadinya kehamilan. Alat kontrasepsi sendiri telah ada sejak zaman Mesir Kuno pada abad ke-18 SM. Penduduk Mesir Kuno konon menggunakan madu, daun akasia, dan serta yang dimasukkan ke dalam kelamin wanita untuk mencegah masuknya sperma dan membuahi sel telur. Sejak saat itu, manusia terus mengembangkan alat kontrasepsi lainnya yang dipakai hingga saat ini, seperti kondom, pil KB, spermisida, hingga alat kontrasepsi yang membutuhkan tindakan medis seperti vasektomi (pemotongan jalur sperma sehingga tidak ada sperma yang keluar ketika ejakulasi). Namun selama perkembangannya, banyak penelitian yang lebih banyak berupaya untuk menyempurnakan alat kontrasepsi yang aman untuk digunakan oleh perempuan. Namun apakah kita sendiri pernah bertanya-tanya mengapa begitu banyak jenis alat kontrasepsi di Indonesia, namun lebih banyak ditujukan pada perempuan?

Penyempurnaan dari alat kontrasepsi perempuan ini ternyata berujung pada diskriminasi yang lebih lagi pada perempuan. Jenis alat kontrasepsi seperti suntik hormon, vaginal cap, IUD,dan berbagai macam alat kontrasepsi yang ditujukan bagi perempuan ketimbang laki-laki yang hanya menggunakan kondom maupun tindakan vasektomi menjadi hal yang perlu dipertanyakan. Tentu hal tersebut dapat secara tidak langsung merendahkan perempuan dengan menganggap hamil hanya akibat dari perempuan tanpa campur tangan laki-laki. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri karena berbagai sudut pandang yang ada dalam masyarakat, terutama orang Indonesia. Oleh karena itu, mari kita bahas setiap sisi yang bisa memberikan jawaban mengapa lebih banyak kontrasepsi yang digunakan oleh perempuan ketimbang laki-laki, terutama di Indonesia.

Program Pemerintahan yang diskriminatif
Pemerintah saat ini sedang berusaha dalam memberikan penyuluhan yang adil mengenai pentingnya alat kontrasepsi dalam program Keluarga Berencana baik pada laki-laki maupun perempuan. Namun pada kenyataannya, program KB pemerintah lebih sering menekankan program KB tersebut pada pihak perempuan dengan menggunakan alat kontrasepsi, baik suntik hormon, maupun pil KB. Selain itu, Tentu hal ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia masih secara tidak langsung mendiskriminasi perempuan menganggap perempuan yang melahirkan maka perempuan yang lebih diwajibkan untuk menggunakan alat kontrasepsi dalam menekan pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin cepat.

Keengganan Laki-Laki untuk Menggunakan Alat Kontrasepsi
Kontrasepsi seakan menjadi kewajiban bagi perempuan dan bukan laki-laki yang bertanggung jawab bila perempuan hamil. Hal ini tentu menjadi sebuah masalah serius yang membuat perempuan yang sudah menikah untuk menggunakan alat kontrasepsi daripada cekcok dengan suaminya yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya patriarki dan diskriminasi terhadap perempuan masih merajalela di Indonesia, terutama dalam praktik kehidupan pasangan. Budaya Patriarki yang Mendorong perempuan Menggunakan Kontrasepsi Pandangan kebanyakan orang Indonesia bahwa alat kontrasepsi adalah “kodrat” dari perempuan dan bukan laki-laki. Budaya ini sudah digemborkan sejak masa Orde Baru dan merambat hingga masa kini. Hal ini dibuktikan dengan begitu tingginya angka perempuan yang menggunakan alat kontrasepsi ketimbang laki-laki. Tentu ini sangat terlihat merendahkan wanita dengan menganggap bahwa kehamilan diluar perencanaan adalah salah perempuan.

Sebuah penemuan layaknya memberikan manfaat yang menguntungkan bagi banyak pihak. Namun bila hanya satu pihak saja yang diuntungkan, bukankah penemuan tersebut menjadi sebuah hasil dari keberhasilan dari diskriminasi? Alat kontrasepsi memang menjadi alat untuk mencegah kehamilan, namun alat kontrasepsi bukan menjadi tugas dari satu gender saja, melainkan dari kedua pihak, baik laki maupun perempuan. Meskipun alat kontrasepsi terdengar bagus dalam mencegah kehamilan, namun alat kontrasepsi memberikan beberapa efek samping selama pemakaiannya, sehingga tidak sedikit perempuan yang membenci penggunaan alat kontrasepsi.

Untuk menutup, kontrasepsi yang ada saat ini cenderung merupakan hasil dari diskriminasi laki-laki kepada perempuan. Memang alat kontrasepsi sekarang sudah bisa tergolong efektif, hingga 99% mencegah kehamilan, namun alat kontrasepsi perlu dikembangkan bagi laki-laki juga dalam upaya mencapai kesetaraan dan memberantas diskriminasi dalam hal ini. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat, terutama di kalangan orang Indonesia, mengenai pentingnya kesetaraan dalam hal alat kontrasepsi perlu digemborkan terus menerus dan menghilangkan stigma bahwa alat kontrasepsi hanya untuk perempuan, melainkan alat kontrasepsi ditujukan kepada laki-laki maupun perempuan dengan 1 tujuan yang sama, yaitu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.