Oleh: Raisya Isnindira Novery
Kamu menerima surat undangan sebuah acara. Katakanlah, pelepasan siswa-siswi Sekolah Dasar Negeri. Di sana, tertulis acara dimulai dari pukul tujuh. Kamu datang terlambat lima belas menit, acara belum dimulai. Satu jam berlalu, kepala sekolah sedang memberikan sambutan. Setengah jam kemudian, seseorang dari Dinas Pendidikan lah yang memberikan sambutan. Pukul sembilan, barulah acara inti: pelepasan secara simbolis. Dua jam lamanya kamu termenung di sana, memikirkan esensi pidato mereka.
Ini bukan skenario khayalan. Ini terjadi pada (nyaris) semua orang Indonesia yang pernah diundang menghadiri suatu acara. Nyatanya, Indonesia memang sangat menghargai segala proses dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jangankan lahiran, menginjak tujuh bulan juga dirayakan. Tidak cukup upacara pemakaman, 40 hari setelahnya juga masih ada peringatan. Hal ini kemudian terbawa terutama hingga ke ranah pemerintahan dan pendidikan.
Tidak Penting dan Bertele-tele
Pada dasarnya, budaya seremoni ini mengajarkan nilai-nilai menghargai usaha serta mengingat dan meneruskan kebaikan sebagai bentuk refleksi diri. Namun, ketika dihadapkan pada skenario di atas, memangnya nilai itu ada?
Sambutan, pengantar, arahan, sekapur sirih, apapun itu namanya, seringkali hanyalah ucapan terima kasih dan kata-kata megah belaka. Terima kasih, katanya. Dilanjutkan dengan menyebut satu persatu nama orang yang bisa saja sebenarnya tidak berkontribusi besar dalam acara tersebut. Bukan laporan pertanggungjawaban, bukan pula inti acara. Tidak terlalu penting. Seharusnya tidak sampai lima menit sudah selesai. Dari sini, kamu menyayangkan dua jam yang terbuang itu.
Kurang Substansi dan Boros
Acara selalu memiliki tujuan. Agar dapat tercapai, acara disusun sedemikian sehingga dalam kegiatannya terkandung makna yang dapat diambil oleh peserta. Tentu, ini tergantung konteks dan jenis acara. Upacara adat biasanya memiliki aturan yang ketat akan hal ini. Namun, jika kita lihat sekarang, memangnya apa tujuan sebuah kunjungan dinas harus disambut? Katakanlah tujuannya penting sekalipun, memangnya apa substansi dari sebuah acara yang durasi intinya hanya setengah jam tetapi saat ditotalkan menjadi tiga jam?
Belum lagi membicarakan biaya. Karena durasi panjang tadi, penyelenggara harus menyediakan konsumsi. Pokoknya minimal harus ada air mineral, snack, dan buah-buah. Kalau acara mengambil waktu siang hari, harus disediakan juga makan berat. Lho, peserta rapatnya bosan! Agendakan penampilan musik atau tari-tarian! Tidak ada hubungannya dengan materi dan tujuan rapat, katamu? Tidak mengapa. Ini dibutuhkan agar peserta tetap tertarik menyimak isi rapat. Apa? Menyimak memang sudah menjadi kewajiban pesertanya? Yah, semua orang butuh hiburan, termasuk pejabat, walau sudah sering plesiran.
Masalah keuangan bisa diakali. Gampang, kurangi budget implementasi kerja yang dapat mengurangi kualitas hasil, alihkan sebagian ke acara peresmian. Voilà! Acara di ballroom hotel mewah! Siapa peduli jika hasil kerjanya jelek atau bahkan tidak sustainable?
Tahun 2023 kemarin, penganggaran rapat suatu daerah bahkan sempat disentil oleh Presiden Jokowi. Dari Rp 10 miliar dana untuk penanganan stunting, kurang dari Rp 2 miliar yang digunakan untuk pembelian bahan makanan bergizi. Tercatat budget untuk kunjungan dinas dan rapat-rapat mencapai Rp 3 miliar masing-masing. Angka fantastis yang menunjukkan entah ketidakmampuan atau ketidakmauan penyusunnya untuk benar-benar menyelesaikan masalah.
Mari Fokus ke Hasil, Evaluasi, dan Proyeksi
Sedih rasanya warisan budaya dengan nilai luhur ini dilucuti dari makna aslinya. Seremoni hanyalah seremoni. Ajang euforia semata. Masalah membuat perubahan berarti itu hal lain lagi. Jika sungguh ingin menghasilkan output yang baik, seharusnya kita kembali ke nilai sebenarnya dari sebuah seremoni: refleksi. Apa fokus utamanya? Apa yang harus dilakukan? Sudah cukupkah usaha selama ini? Bagaimana ke depannya? Dengan begini, bersama kita tinggalkan budaya seremonial kosong itu. Bersama, kita membentuk mentalitas baru.
Leave a Reply