Oleh: M. Fadhlan Wahyudi
Mahasiswa baru, ladang uang baru. Mungkin ini adalah pikiran para rektor Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) saat ini. Banyak PTN yang menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) setelah
keluarnya Permendikbud Nomor 2 Tahun 2024. Peraturan tersebut mengatur tentang UKT di
PTN. PTN diberikan keleluasaan sebebas-bebasnya untuk menentukan besar UKT yang ada di
PTN mereka asalkan golongan I dan II ada di besaran berturut-turut Rp500.000 dan
Rp1.000.000. Kebebasan inilah yang menyebabkan UKT di beberapa PTN melambung tinggi.
Contohnya, UKT di Universitas Jendral Soedirman, Purwakarta sempat naik lebih dari 100%
yang membuat ada calon mahasiswa baru yang mengundurkan diri. Di Univeritas Indonesia
UKT tertinggi memang tidak naik, tetapi golongan yang ada malah berkurang dan memiliki jarak
antar golongan yang besar. Tetapi, tidak semua PTN memberlakukan kebijakan kenaikan UKT
ini. Universitas Airlangga (UNAIR) dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS)
adalah contohnya. Di UNAIR, UKT tertinggi bagi mahasiswa yang masuk melalui SNBP dan
SNBT tidak mengalami kenaikan. Hanya penambahan golongan saja.
Kenaikan UKT ini cukup banyak menuai respons negatif dari masyarakat dan mahasiswa
itu sendiri. Banyak mahasiswa yang turun ke rektorat, melakukan aksi demo untuk mengkritik
kebijakan tersebut. Aksi tersebut akhirnya membuahkan hasil. Mendikbudristek Nadiem
Makarim langsung mencabut Permendikbud No. 2 Tahun 2024 setelah Presiden Jokowi bertemu
dengan Nadiem. Nadiem menegaskan Maba 2024 tidak akan mendapatkan kenaikan UKT.
Kebijakan kenaikan UKT akan diterapkan untuk Maba 2025. Namun, tetap saja kenaikan UKT apabila tidak diseimbangi dengan ekonomi keluarga para Maba akan tetap merugikan Maba
nantinya.
UKT pertama kali diterapkan pada tahun 2013 melalui Permendikbud No. 55 Tahun
2013. Sejatinya UKT dibuat untuk menghilangkan uang pangkal dan pungutan-pungutan lainnya
dari PTN. Namun, dari tahun ke tahun UKT semakin meningkat. Sekretaris Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Tjitjik Sri Tjahyandarie
mengungkapkan mengapa UKT terus mengalami kenaikan. Menurut guru besar FST UNAIR
tersebut , kenaikan UKT menyesuaikan dengan biaya operasional yang harus ditanggung oleh
PTN.
Permasalahan UKT ini memang merupakan masalah tiap tahun di tiap PTN. Namun, di
akhir pemerintahan presiden Joko Widodo masalah ini semakin menjadi-jadi. Di awali dengan
mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang disarankan untuk mengambil pinjaman online.
Berhembus juga wacana student loan sebagai alternatif pembayaran UKT. Meskipun menurut
Nadiem hal ini masih sekedar wacana di internal kementerian, tetapi hal ini menjadi hal yang
membuat masyarakat panas. Opsi pinjaman atau kredit bagai alternatif pembayaran UKT tentu
memiliki risiko yang cukup besar melihat perilaku masyarakat Indonesia yang cenderung gagal
untuk melunasi pinjaman. Di Amerika Serikat, salah satu negara yang menerapkan student loan,
masih banyak mahasiswa yang gagal bayar. Pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam
mengambil langkah kedepannya. Apabila perencanaan mengenai student loan tidak dikonsep
secara matang, sangat mungkin skema ini gagal.
Permasalahan UKT ini merupakan masalah serius yang perlu ditemukan solusi
secepatnya. Masih sedikitnya masyarakat Indonesia yang mengenyam pendidikan tinggi –
sekitar 10,15% menurut Suspenas BPS 2023 – tentu membuat misi pemerintah untuk menjadikan
Indonesia Emas di tahun 2045 akan semakin sulit. Pemerintah harus berpikir keras agar potensi
generasi saat ini tidak terbuang sia-sia apalagi sia-sia akibat kesulitan untuk mengenyam
pendidikan tinggi. Pendiri bangsa sudah menitahkan mandat bagi pemerintah untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pendiri bangsa berharap, masyarakat Indonesia yang
cerdas dapat menggunakan potensi yang ada dalam dirinya sehingga dapat menjadi pilar-pilar
kemajuan bangsa Indonesia. Apabila masalah akses pendidikan tinggi yang sulit ini masih
terjadi, mungkin visi Indonesia Emas 2045 hanyalah angan-angan belaka.
Leave a Reply